Click Here For Free Blog Templates!!!
Blogaholic Designs

Pages

Rabu, 25 Desember 2013

Berburu Palladium


Oke, sekerdar informasi, aku mau lamaran. Titik. Bukan informasi maha penting sebenarnya, hanya saja kali ini aku pengen menceritakan pengalamanku ngubek-ubek pusat pertokoan kemarin. demi apa coba? Demikian dan terima kasih. Ya demi acara lamaran berjalan dengan sukses lah.
Oke. Jadi ceritanya, sabtu malem kemarin aku konsultasi ke camer, tentang apa yang diperlukan untuk acara lamaran mendatang, apakan ada barang yang perlu saya beli sendiri atau tidak. Setelah melakukan perdebatan dan negosiasi selama 1,5 jam (karena sang camer ternyata suka banget nonton sinetron, sehingga baru bisa diskusi kalo ada jeda iklan) maka diputuskan untuk lamaran sang pacar cukup membawa cincin tunangan saja. Ga perlu beli kain dah. Kainnya diserahkan pas akad aja. Dan akhirnya kami setuju. Deal!
Kesokan harinya, hari minggu tepatnya, pagi-pagi kami merencanakan kepergian kami ke toko perhiasan. Karena aku dan sang pacar muslim dan menurut islam, pria dilarang menggunakan perhiasan emas, maka pagi itu kami mencari alternatif perhiasan selain emas di internet. Browsing sana-sini, mencari tahu bahan-bahan yang bisa digunakan untuk perhiasan, maka ditemukanlah beberapa bahan yang bisa dijadikan alternatif. Ada platina, palladium, tungsten, dan silver. Lalu dengan bekal ilmu hasil dari penjelajahan kami di Mr. Google, akhirnya diputuskan untuk membeli cincin palladium untuk sang pacar dan emas putih untuk aku. Kenapa palladium? Karena cincin dari bahan ini tidak mudah menghitam seperti silver, warnanya mirip emas putih, harganya juga setara dengan emas putih. Dan dimulailah perburuan cincin tunangan kami.
Menurut saran dari camer, dan seorang kawan yang sudah menikah, kalo cari cincin di Surabaya yang banyak di Pasar Atom. Dan kesanalah kami akhirnya. Dengan banyak sekali penjual perhiasan disana, kami berharap mendapatkan apa yang kami cari, sepasang cincin tunangan berbahan emas putih dan palladium. Setelah mengunjungi hampir setiap gerai disana, banyak yang menyarankan pake silver aja. Hampir aja sang pacar menyerah dan memilih silver aja. Tapi untungnya aku ngotot ga mau. Kenapa? Karena silver harganya lebih murah, kan g imbang jadinya, masak aku jauh lebih mahal, dan silver itu mudah menghitam, jadi harus disepuh lagi beberapa bulan sekali. Kan males banget ya? Sampe dibentak dan digoblok-goblokin sama kokoh-kokoh penjual emasnya, karena nyari palladium. “Udah, beli aja emas 75%, daripada nyari palladium sampe gempor jg g bakal nemu di sini. Lagian kamu kalo tak bohongi, emas putih tak bilang palladium bakal nyadar?”
Kata-kata kokoh penjual emas iku bener juga sih, karena mirip banget, kemungkinan aku g bakal tau kalopun dibohongi, tapi aku g mau nyerah. Menurutku sih, mending usaha dulu, entah nanti kita dibohongi atau nggak, yang penting kan udah usaha nyari yang bukan emas. Semoga Allah mengampuni dosa kami.
Perburuan di Pasar Atom tidak membuahkan hasil sodara-sodara. Dan kaki sudah gempor. Lalu makanlah kami di foodcourt Pasar Atom yang super ramai. Istirahat sambil browsing-browsing lagi toko yang menjual palladium. Sempet setres juga nyarinya, karena sinyal hp ku rada-rada hidup segan mati tak mau. Hasil dari pencarian kami hampir semua di Jakarta. Namun syukur Alhamdulillah, kami menemukan 1 toko yang konon katanya menerima pesanan cincin tunangan dari palladium. Namanya Indoseni, letaknya di BG Juction. Meluncurlah kami ke sana di sore hari yang rada-rada mendung mesra.
Ketemu, toko Indoseni dan memang benar, disana menjual perhiasan dan yang paling utama cincin kawin. Bahannya juga bisa milih, emas kuning, emas putih, atau palladium. Langsung semangatlah kami. Disana kami disuruh milih-milih model. Dikasih saran yang bagus model apa aja. Setelah milih-milih dan ketemulah model yang paling chic, bagus menurut kami, jari kami diukur. Ukurannya agak dilonggarin dikit, jaga-jaga kalo mengalami penggemukan. Hehehe…. Ya begitulah, akhirnya kami pesen dan bisa diambil dalam 10 hari. Sayangnya, kami lupa melakukan ritual kenarsisan yang harusnya sih kami lakukan kemarin. ya, berfoto ria dengan cincin pinjeman dari toko. Tetep ya…
Setelah dapet kami langsung pulang, puas rasanya setelah proses pencarian yang panjang kami menemukan apa yang kami cari. Alhamdulillah yaah…. Berhasil berhasil berhasil… horeeee! \(^_^)/. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih untuk sang pacar yang rela ngikuti saya puter-puter nyari cincin palladium. Padahal dia g masalah kalo pake silver. Hehe.. luph u, Pacar! Terima kasih juga untuk Mr. Google yang sangat membantu, dan bapak ibu yang dengan tegas bilang kalo sang pacar ga boleh pake emas… love u all! Spirit unity and pride!


Surabaya, 2 Desember 2013
Kamis, 12 Desember 2013

Gara-gara Berita Heboh dari KUA

Selamat malam.
Malam ini aku mau cerita tentang beberapa berita update yang sedang ramai diperbincangkan oleh teman-teman kerjaku. Yak selama dua minggu ini kami para wanita-wanita yang akan segera menikah sedang dihebohkan oleh berita bahwa KUA seluruh Jawa Timur memutuskan untuk tidak lagi melayani pernikahan di luar jam kantor dan di luar kantor. Betapa galaunya kami, karena beberapa dari kami sudah menentukan tanggal pernikahan, sudah booking tempat, catering, dan lain-lain.
Lalu aku? Aku jadi ikut-ikutan galau. Bukan karena sudah menentukan tanggal pernikahan, tapi aku dan sang pacar sudah sepakat untuk menikah saat weekend. Betapa kagetnya dan galaunya kami (aku lebih tepatnya) karena aku yang paling ngotot mau nikah saat weekend. Gila ajaaa…. Nikah hari kerja? Siapa yang mau meramaikan suasana kalo gitu?? Dan di KUA? Plis deh, ruangannya terbatas banget kan. Semua rencanaku bakalan kacau banget kalo peraturan baru (yang menurutku sangat egois itu) bener-bener diterapkan sampai hari-H aku menikah nanti.
Balik lagi ke cerita kegalauan teman-temanku. Kami para gadis-gadis lajang yang jumlahnya ada 6 orang, yang hidup diantara para ibu-ibu, menyikapi berita mengagetkan itu dengan cara yg berbeda-beda. Ada yang menyikapi dengan biasa-biasa aja, ada yang no comment, ada yang heboh cenderung g perduli padahal dianya uadah mau nikah. Berikut adalah komentar-komentar mereka:
“Ah, kan belum tentu juga peratutan itu diberlakukan.”
“Aduh, g tau lah, calon aja aku belum punya.” (yang ini agak merana kayaknya)
“Waduh aku udah nentuin tanggal. Berubah lagi dong.”
“Wah, ga asik dong nikah di KUA. Ga lucu kan nikah di dalem kantor. Dg background meja dan lemari arsip.”
“ Biarin aja, biar diurus mamaku.” (percaya g percaya, ini adalah komentar cewek yang mau nikah)
Dan inilah komentar ku. “Apaaa? Ga bisa nikah weekend dong. Trus tamunya gimana? Masak disuruh bolos semua? Aarrgh!”
Walau kemudian kepanikan itu berubah menjadi bercandaan. Kami  justru menjadikan ini topik yang seru, dengan pengandaian-pengandaian yang luar biasa kreatif sehingga menimbulkan perdebatan-perdebatan konyol. Seruuu!
“Nanti nikah siri dulu aja, baru seninnya dicatetin ke KUA.” Kataku suatu ketika dalam perjalanan menuju tempat kerjaku.
“Wah, g asik dong. Km sah secara agama tapi ga sah secara hukum. Kalo ada apa-apa gimana?” seru Rini.
“Kalo suaminya mendadak minggat gimana? Padahal kamu sudah di apa-apain.” Timpal Apink yang sudah punya pengalaman menikah.
Dan perdebatan masih berlangsung dengan pengandaian-pengandaian yang semakin lama semakin tidak masuk akal.
Ah, begitulah kami, menjadikan kegalauan menjadi bercandaan. Menyenangkan memang jika ada mereka. Selalu ada yang seru dalam setiap kesempatan. Kerja jadi menyenangkan. Luv u all…!
Night universe!

Surabaya, 11 Desember 2013
Selasa, 12 November 2013

Tong Sampah Emosi: Mari Bumi Hanguskan Ketidakproduktifan Hidup!

Judulnya provokatif banget yak? Sebenernya ini adalah ajakan untuk diri sendiri supaya saya berhenti bermalas-malasan di dalam rumah, di kamar, baca novel yang tokoh utamanya nyebelin, bbm-bbm g jelas, gangguin pacar yang lagi sibuk kerja,  dan ketidakproduktifan lainnya. Yah, dengan jadwal kerja yang hanya 2-3 minggu dalam sebulan dan sisanya adalah libur panjang, tak ada yang bisa dilakukan selain bermalas-malasan menikmati hidup (menikmati kenyamanan sesaat sih, harusnya).
Kadang saya bingung sendiri, dengan waktu luang yang demikian banyaknya, saya tidak pernah merasa perlu untuk memanfaatkannya dengan baik. Ada saja pikiran-pikiran yang selalu menuju zona nyaman sesaat ini. Kadang pengen sih kursus bahasa, atau menjahit, tapi kalau harus bolos pas kerja, sayang juga kan. Kadang pengen juga belajar sendiri, menjahit, buat aksesoris, tapi hanya bertahan beberapa saat saja. Menulis? Hanya beberapa tulisan saja yang terselesaikan. Sisanya hanya berupa kumpulan paragraf, novel belum jadi, dan beberapa puisi. Sisanya hanya berupa curhat-curhat seperti ini.
Mari bumi hanguskan ketidakproduktifan ini. Saya bosan hidup bermalas-malasan. Mulai saat ini, saya berjanji, diwaktu luang yang berlimpah ini, saya harus menyelesaikan 1 tulisan dan 1 bab novel dalam seminggu. Gampang kan? Bukan perkara sulit sebenarnya. Yang sulit itu membunuh malas dan keluar dari zona nyaman. ah, semoga rencana pertama ini selesai dengan baik. Chao!


Sby, 12-11-13
Rabu, 30 Oktober 2013

Tong Sampah Emosi: Mendadak Marah

Sumpaaahh yaa….!!!! Super badmood, pake banget!
Astaga, aku ini kenapa? Sesorean rasanya pengen banting hp, pengen jedokin kepala ke tembok, pengen teriak kenceng sampe serak…. Padahal sebenernya ga ada apa-apa sih. Cuma otakku aja yg lagi burem.
Astaga kenapa sih ini! Mendadak menjadi sangat sangat ingin marah, bukan marah pada kamu, dia, atau siapalah diantara kalian, tapi aku marah pada diriku sendiri. Pengen nangis rasanya ngerasain jadi diriku sendiri. Apa sih aku ini? Siapa aku ini? Apa gunanya aku ada di dunia ini? Ah, sepertinya memang aku ini ga ada gunanya. Bisa apa aku ini? Bisa apa? Aku ga bisa memenuhi keinginanku sendiri, janji-janjiku sendiri, aku ga bisa memenuhi harapan dan mimpi-mimpi orang-orang yang mencintaiku.
Kalo dijadiin grafik, mungkin aku ini ada di titik terendah dari semangatku menjalani hidup. Sama sekali tak termotivasi, tak punya harapan. Mungkin jika ini berlanjut, bisa jadi aku berubah menjadi gila. Motivasi dan harapan, nilainya sama-sama nol besar. dan jika keadaan berlanjut, nilainya berubah menjadi minus. Dan manusia dengan harapan dan motivasi nol tak akan hidup bahagia. Orang yang tidak bahagia akan setres dan gila. Orang gila tak layak hidup di sekitar orang normal, karena akan sangat mengganggu sekali.
Bicara apa senbenernya aku ini? Terlalu ba yak hal yang berputar-putar dalam kepalaku. astaga, makhluk apapun itu yang ada di kepalaku, dia ingin sekali keluar, meronta-ronta, menggeliat marah. Semacam naga marah yang terjebak dalam lorong gelap tanpa batas, terus berlari, menyemburkan kemarahannya melalui napas api, melampiaskan kemarahannya lewat hempasan ekor berdurinya. Makhuk ini sedang marah. Makhluk ini nyaris gila menemukan jalan keluar. Ya, mungkin seperti itulah aku sekarang. Nyaris gila menemukan pintu keluar dari hal-hal yang mengganggu pikiranku.
Ah, sudahlah… sepertinya tidur bisa menjadi obat yang paling mujarab dari kegalauan pikiran ini. Semoga esok pagi keaddan membaik sodara-sodara. Terima kasih telah menjadi pendengar yang baik. Terima kasih telah menemani kemarahan saya. Semoga kemarahan dan kegalauan ini tidak menular ya. Hehehe…. Selamat malam. Selamat istirhat…. J


Surabaya, 30 10 2013
Selasa, 01 Oktober 2013

Curcol: Kado yang Tertunda #part2

Horeee……
Eh, maaf nih, kalo aku teriak-teriak. Ga apa-apa kan? Aku sedang ingin mengungkapkan rasa senengku. Hohoho… Ya, ga yauh-jauh dari postingan yang kemarin. Soal hadiah? Benar sekali. Ga jauh-jauh dari urusah hadiah.
Jadi begini ceritanya, kan kemarin aku udah cerita kalo dapet  hadiah dari pacarku yang baik hati dan tidak pelit, nah kemarin aku dikerjain sama temen-temen kerjaku, yang keseluruhannya adalah wanita, dan dapet hadiah juga dong. Dikerjain habis-habisan. Kok bisa? Ya seperti biasa, temen-temen kantorku ini giat banget kalo pas ada yang ulang tahun. Pasti dikerjain. Semakin gila idenya semakin keren. Semakin banyak membuat galau sang korban, semakin puas.
hasil make up
Nah kemarin adalah ‘resepsi’ ulang tahun yang diadakan temen kantor untuk aku dan Nirma, kebetulan aku dan Nirma ini ulang tahunnya hanya selisih seminggu aja. Pertama sih aku merasa sial, karena sebelum-sebelumnya, aku ga pernah dikerjain kalo ulang tahun. Mentok cuma dapet ucapan selamat via grup bbm. Kalo beruntung dapetlah hadiah dari beberapa temen, tapi ga pernah seheboh ini. Bahkan selama 25 tahun hidupku, baru ini aku ngerasa dikerjain total. Ngerasa sial karena sebenernya yang dikerjain adalah Nirma, cewek paling ‘laki’ di kantor, tapi ya akhirnya aku harus merasakannya juga.
Skenario pertama mereka adalah mendandani kami berdua. Pake gamis, jilbab ruwet, make up lengkap, tinggal sepatu bling-bling aja yg absen. Aku sih ga masalah ya didandani, toh juga aku udah sering dandan, walau ga semenor itu. tapi si Nirma, wow banget. Seperti yang aku katakan tadi, Nirma itu cewek paling ‘laki’. Ga pernah dandan, ga pernah pake rok, ga pernah pake jilbab yang ruwet. Dan Nirma didandani? Jadi cewek banget, cantik deh.
kado-kado yang tertunda
Oke, acara dandan mendandani selesai. aku dan Nirma layaknya mempelai dibawa ke ruangan yang sudah disetting menyerupai acara syukuran beneran. Kursi yang dijajar-jajar, nasi tumpeng, dan para undangan yang ga lain adalah temen-temenku sendiri dengan pakaian rapi. Acara dimulai dari pembacaan susunan acara oleh MC, lalu sambutan oleh yang berulang tahun, potong tumpeng, pemberian kado, doa, dan penutup. Resmi amat yak? Tapi pada kenyataannya ga ada resmi-resminya. Ketawa ngakak sepanjang acara, jingkrak-jingkrak, kacau deh pokoknya.
Terakhir, buka kado dari temen-temen, alhamdulillah, dapet baju lagi. Tambah banyak aja baju baruku. Kado ulang tahun yang tertunda dari orang-orang spesia.l Makasih teman-teman……… :*
Senin, 30 September 2013

Curcol: Kado yang Tertunda

Haloo…
Apa kabar? Lama nih ya ga cerita-cerita. Karena kesibukan yang tidak dapat ditinggalkan, dan faktor yang selama ini menghantui setiap saya hendak menulis, M alias males. Ini penyakit sumpah ya, sukses bikin hidup makin ga produktif.
Kado pertama
Kali ini aku mau cerita tentang kado ulang tahun yang tertunda, atau dalam istilah lain terlambat nyampenya. Kok bisa terlambat? Selow teman, ini saya baru mau cerita. Usut punya usut, ternyata diketahui bahwa bulan lalu aku ulang tahun. Bukannya matre atau gimana ya, tapi aku sudah terbiasa dari dulu banget membeli barang yang sekiranya memang aku butuhkan. Jadi, kalo ternyata aku ulang tahun dan ada temen atau pacar yang berencana membelikan hadiah, aku biasanya bilang mau hadiah apa. Jadi kalian kalo mau kasih aku hadiah cukup bilang aja kali mau kasih hadiah, dan aku akan menyebutkan apa yang aku inginkan, ga perlu pusing-pusing milihin kado yang tepat kan ya. Hehehe…
Jadi dulu banget, aku pernah bilang ke pacarku tercinta, kalo aku pengen banget punya boneka Donald Duck. Dan pacarku dengan senang hati berjanji untuk membelikannya saat ulang tahunku. Nah, mendekati ulang tahun, dia komentar kalo aku ini kalo diajak jalan bajunya itu-itu aja, dan beberapa aku akui udah keliatan usang. Ya udah aku bilang aja ke dia, “Ya udah. Kado ulang tahunnya nambah baju baru aja kalo gitu.” Dan dia langsung bilang oke. Segampang itu ya minta baju baru ke pacar. Pacar saya memang baik hati dan tidak pelit. Hohoho…
Kado yang tertunda
Dan tibalah saat ulang tahunku, dan dia kasih bungkusan gede banget, dan isinya cuma boneka Donald Duck aja. Loh bajunya mana? Ternyata eh ternyata, menurut cerita, pas aku minta baju itu, dia udah siapin hadiah bonekanya. Jadi bajunya belum sempet dimasukkan (bilang aja belom beli, hohoho…).
Hari berganti, bulan berlalu, dan karena kesibukannya, dan karena memang aku jarang sekali bisa bersama dia, alhasil, baru terbelilah baju yang aku minta setelah sebulan. Maksudnya, baju itu baru diberikan kepadaku setelah sebulan berlalu sejak aku ulang tahun. Itupun aku udah milih-milih dulu dari katalog sebuah merek, baru deh dia setuju, pesen, dan dibayarin.
Astaga, susah sekali ya mau beli baju. Ga apa-apa deh, yang penting dapet baju baru yang aku suka dan gratis. Makasih ayank... Makin cinta deh… :-*

Surabaya, 28 September 2013


Rabu, 06 Februari 2013

Mr. Moody and me : Telepon Singkat


“Kau ada di sini Mr. Moody?” aku berjalan kembali. Melewati lorong gelap pikiranku. Seperti biasa. Ketika kemarahan menghampiriku. Tempat ini dan Mr. Moody selalu bisa menenangkanku.
“Iya, aku di sini. Aku sudah berjanji padamu, bukan?”
“Apa kau tahu aku akan datang malam ini?” aku memutar tubuhku, mencari-cari sumber suara. Kegelapan sempurna menyembunyikan sosok yang selalu menemaniku disaat-saat tergelapku. Setidaknya dia pernah berjanji seperti itu.
“Iya, aku tahu.” Suara itu semakin mendekat. Seolah dia tahu dimana bisa menemukanku di ruangan gelap ini.
“Bagaimana kau tahu?” Aku berhenti mencarinya, lalu meraba-raba kegelapan mencari sandaran. Menyandarkan punggungku yang lelah menahan begitu banyak kekesalan.
“Karena aku merasakan kemarahanmu, kekesalanmu. Hal-hal yang melukaimu selalu membuat dadaku terasa tercabik. Aku tahu aku di luar sana sedang menyakitimu lagi.”
“Kau benar. Dirimu yang lain telah menyakitiku lagi. Mengabaikanku. Tak lagi mengharapkanku.”
“Apa yang dia lakukan?”
“Aku merindukannya, aku merindukan dirimu di dunia nyata. Aku ingin mendengar suaranya, bercerita lagi dengannya. Memulai lagi dari awal, memulai lagi mencintainya tanpa kebencian. Tapi dia, sosokmu di dunia nyata tak pernah mau tahu. Dan terus saja menyakitiku dengan pengabaian yang selalu dia lakukan ketika aku mencoba lagi memulai hubungan baik kami.
“Aku tak tau. Mengapa dia begitu menyebalkan. Dia jauh berbeda denganmu. Kamu selalu mendengarkanku, dia tidak. Dia tidak pernah mau tau apa yang aku rasakan. Aku lelah Mr. Moody. Lelah sekali merasakan bahwa apa yang aku harapkan, untuk kesekian kali harus hancur. Dihancurkan oleh hal menyesakkan seperti ini.”
“Aku tak tau harus mengatakan apa, Nona.”
“Kau tak harus mengatakan apapun jika kau tak ingin, Mr. Moody.  Kau hanya perlu mendengarkanku, menemaniku berkeluh kesah di ruang gelap ini.”
“Maafkan aku, Nona. Sungguh maafkan aku. Aku tahu itu menyesakkan. Aku tahu itu sangat menyakitkan untukmu. Tapi aku tak dapat melakukan apapun selain mendengarkanmu. Aku memang bagian dirinya, tapi kami tidaklah sama.”
“Sudah kubilang, kau hanya perlu mendengarkanku.”
“Baiklah, berceritalah lagi.”
“Baiklah, aku akan bercerita lagi. Aku merindukannya. Teramat merindukannya. Rindu yang membuatku menghubunginya lagi, dan lagi. Aku berusaha berbincang dengannya. Mencoba membuatnya berbicara lagi denganku. Aku memintanya meneleponku.” Aku memerosotkan tubuhku, duduk terkulai di lantai batu yang dingin. Berusaha menahan tangis yang menyesakkan dadaku.
“Dan dia meneleponmu?”
Aku mengangguk. “Iya. Dengan suara yang bukan miliknya. Aku tahu itu dia, tapi yang meneleponku adalah dia yang lain, dia yang dingin dan tak bersahabat. Dia yang selalu menoreh luka. Dia yang….” Aku tercekat, menahan tangis membuat dadaku semakin sesak.
“Menangislah, Nona. Menangislah kalo itu bisa membuatmu lega.”
Tangisku semakin deras. Aku terisak, bahuku naik turun. “Dia tidak menginginkanku lagi.” Aku menggigit bibirku hingga perih. Aku tak dapat menghentikan tangis ini. Air mata mengalir dengan deras. Semakin deras ketika aku kembali teringat betapa hal itu sangat menyakitkan.
“Maafkan aku.” Suara Mr. Moody terdengar begitu pelan. “Aku tak pernah ingin kau merasakan hal ini. Aku tak pernah ingin dirimu tersakiti. Apalagi oleh dia. Dimana aku adalah bagian dari dirinya yang hidup di dalam benakmu.” Suaranya tampak sama menderitanya sepertiku. Hanya saja aku tak dapat melihat wajahnya.
“Tapi kau memiliki suara seperti dirinya yang hangat. Dia yang kucintai.”
“Tapi aku hanyalah banyangan dirinya yang berada dalam benakmu, Nona. Aku adalah dirinya seperti yang kau inginkan. Aku bukan dirinya yang sesungguhnya.”
“Mengapa aku tak bisa melihatmu, Mr. Moody-ku? Aku ingin sekali melihatmu.” Aku menghapus air mata dipipiku. Mr. Moody benar, menangis bisa membuatku lega. Membuang semua kekesalanku. Mr. Moody begitu berbeda dengan dirinya di dunia nyata. Di sana, dia tidak pernah bisa memahami saat aku menangis. Baginya, tangisanku sangat mengganggunya.
“Apa ada bedanya bisa melihatku atau tidak, Nona? Mungkin lebih baik kau tak perlu melihatku. Cukuplah suaraku yang terus berbincang menemanimu setiap kali kau membutuhkanku.” Lama sekali, Mr. Moody baru menjawab.
“Tapi aku ingin melihatmu, Mr. Moody.”
“Kau ini tetap saja keras kepala dan tidak mau menyerah, Nona. Tapi maaf, ada hal-hal tertentu yang mungkin tak bisa dan tak akan kuberikan padaku. Cukupkan dirimu berpuas dengan apa yang aku berikan. Kau butuh teman berkeluh kesah, bukan? Aku disini, mendengarkanmu saat kau berkeluh kesah. Kau juga butuh orang akan menemanimu saat kau ingin menangis, bukan? Maka aku disini menemanimu. Kalau boleh tahu, apa yang dia katakan yang menyakitimu, Nona?”
“Suaranya yang dingin, pertanyaan basa basi, dia terganggu dengan kehadiranku. Dia tidak menginginkanku dalam hidupnya lagi.”
“Apa perkataannya menyakitimu?”
“Tidak. Perkataannya tidak menyakitiku. Tapi cara dia berbicara denganku yang membuatku merasa terbuang. Cuma sebentar, lalu dia pamit dan meneruskan pekerjaannya. Hanya itu, dan hal itu cukup untuk menghancurkanku lagi. Telepon singkat darinya yang menghancurkan hatiku lagi.”
“Aku tak tahu harus berkata apa, Nona. Aku juga tak tahu mengapa dia melakukan itu.”
“Lalu apa yang harus aku lakukan, Mr. Moody? Apa yang harus aku lakukan? Melupakannya bukanlah pilihan yang mudah, kau pasti tahu itu. Lalu apa yang bisa aku lakukan untuk membangun hatiku yang porak poranda ini?”
“Bersabarlah, Nona. Sekali lagi aku ingatkan, kau punya Tuhan yang bisa menolongmu. Berdoalah kepada-Nya.”
“Selalu. Aku selalu berdoa untukku, juga untuknya. Aku berdoa untuk kebahagiaanku dan juga kebahagiaannya. Mungkin bersama dengannya tampaknya sulit sekali terwujud. Jika aku tak bisa bersama dengannya, setidaknya kami masih bisa bahagia dengan pilihan kita masing-masing. Sekalipun akan sangat menyakitkan.”
“Jangan pernah berhenti berdoa, Nona. Jangan pernah berhenti. Aku yakin Tuhanmu sedang mempersiapkan kehidupan yang terbaik untukmu. Menyiapkan kebahagiaan untuk dirimu. Maka tersenyumlah, Nona. Selalu tersenyumlah.” Tanpa sadar aku tersenyum mendengar perkataannya. “Kau tampak cantik sekali jika tersenyum seperti itu, Nona.”
“Kau bohong, kan? Kau hanya berusaha untuk menghiburku. Kau tak bisa melihatku dalam ruangan gelap ini.”
“Tidak, Nona. Aku benar-benar mengatakannya dan aku… aku bisa melihatmu dengan jelas. Ini tempatku tinggal, Nona. Aku bisa melihat dengan jelas di sini.”
“Kau pasti bercanda. Tapi terima kasih atas pujiannya, Mr. Moody-ku. Kau selalu bisa diandalkan.” Senyumku semakin lebar.
“Sama-sama, Nona Manis. Sekarang kembalilah kesana, ke lorong yang lebih terang, kau akan merasa lebih nyaman disana.”
“Kau tak ikut kesana?”
“Tidak. Tempatku adalah di sini. Aku akan selalu disini menemanimu disaat-saat tergelapmu.”
“Bye.”
“Bye, Nona Manis-ku. Berbahagialah.”
Aku kembali melangkah menuju lorong yang lebih terang. Tempat cahaya menyinari. Tempat cahaya menghangatkan dinginnya hati yang menangis. Perlahan cahaya menelanku dalam kehangatan. Aku merasa lebih bahagia. Lalu aku membuka mataku dan tersenyum.

Surabaya, 28 Januari 2013
Rabu, 23 Januari 2013

Mr. Moody and me : Janji Kebahagiaan


“Gimana bisa, ya, ada seseorang yang begitu menyebalkan. Begitu, ah, aku tak tahu bagaimana menggambarkannya. Terlalu menyebalkan. Terlalu sakit untukku merasakan hal itu.” Aku berbisik. Berbisik pada diriku sendiri. Karena aku tahu sekarang aku sedang sendiri, tak ada seorangpun yang perduli padaku.
Aku berjalan. Dalam lorong gelap pikiranku. Menahan semua sesak. Menahan semua kemarahan. Berharap bisa menumpahkan kekesalanku. Berharap gelap bisa menelan amarahku. Sehingga semua rasa itu hilang, meskipun itu berarti aku tak punya perasaan lagi. Mungkin akan jauh lebih mudah jika aku tak punya perasaan. Aku tak perlu mencintai, tak perlu menjadi gila karena ditinggalkan, tak perlu marah.
“Kamu kenapa?” seseorang menyapaku dari lorong tergelap pikiranku. Sekali lagi. Kegelapan tak dapat menampakkan sosoknya. Tapi suara itu, adalah suara yang selalu aku rindukan sekaligus suara yang seharusnya membuatku semakin marah. Suara Mr. Moody ku. “Kamu kenapa, Nona Manis?” sekali lagi suara itu terdengar.
Aku mengepalkan tangan. Aku marah. Suara yang di dunia nyata telah mencabik-cabik ruang terhangat dari hatiku. Namun suara itu pula yang selalu aku rindukan dalam pikiranku. Dan suara itu datang. Aku bergeming. Tak mengatakan apapun. Tak juga menggerakkan badanku. Hanya tanganku yang mengepal semakin erat.
“Kamu marah? Aku tahu kau sedang marah. Maka berceritalah, Nona. Aku disini. Mendengarkanmu.”
“Iya. Aku sedang marah.” Aku masih berdiri. Tak bergerak.
“Apa yang membuatmu marah?”
“Kamu, Mr. Moody. Kamu yang membuatku marah. Bukan kamu yang disini, yang ada dalam pikiranku. Tapi kamu yang ada didunia nyata. Kamu disana, seperti biasa, moody dan menyebalkan.”
“Apa yang sudah aku lakukan di dunia nyata?”
“Mengabaikanku. Untuk kesekian kalinya kau mengabaikanku. Aku ga tahu apa salahku. Apa masalahmu sampai kamu tega mengabaikanku? Kamu tau rasanya? sakit sekali, Mr. Moody yang terhormat.”
“Tapi kamu juga mengabaikanku, Nona. Saat aku berharap bisa kembali padamu.”
“Kamu yang mulai, bukan? Kamu yang memulainya.”
“Iya aku tahu. Aku bersalah saat itu. Aku yang membiarkanmu pergi. Tapi aku benar-benar ingin kembali saat aku memintanya. Lalu, apa lagi yang aku lakukan sekarang? Yang membuatmu begitu marah padaku. Aku yang di dunia nyata.”
Kamu. Aah, aku tak pernah mengira aku bisa bertemu sosok dirimu yang begitu dingin. Sepuluh tahun aku menunggumu, bukan untuk bertemu dirimu yang begitu dingin. Bukan dirimu yang sekarang ini yang aku harapkan dalam penantianku. Tapi ternyata apa yang aku dapatkan tak sesuai denga harapanku. Aku menemukan dirimu yang begitu….. susah ditebak, dingin, dan menyebalkan.
“Dan hari ini, aku lagi-lagi harus menemukan dirimu yang tak aku harapkan. Sekali lagi, kau megabaikanku. Mungkin memang aku salah telah memutuskan untuk melupakanmu, yang aku tahu itu tidaklah benar, dan akan menyakiti diriku sendiri. Tapi tidakkah kau ingin berusaha mempertahankanku? Meyakinkanku agar aku mau kembali padamu? Mengapa kau tak melakukan itu, Mr. Moody? Kau melepaskanku begitu saja, lalu mengabaikanku. Itu menyebalkan. Bukan, itu menyakitkan. Sangat menyakitkan.” Aku mulai menyandarkan tubuhku pada dinding yang tak terlihat di sebelah kananku. Memejamkan mata dan menghela napas berat. Masih di dalam lorong gelap pikiranku. Dan suara Mr. Moody yang menemaniku dari sudut yang entah dimana dalam lorong itu.
“Maaf. Kupikir itu yang terbaik untuk kita. Percayalah, aku juga sakit telah membiarkanmu pergi. Kuharap itulah yang kau inginkan, agar kau bisa melupakanku lebih cepat.”
“Iya, aku berharap itulah yang aku inginkan. Melupakanmu adalah cara menghindari rasa sakit. Tapi itu tak berlangsung lama.” Aku tersenyum. Berusaha menertawakan diriku sendiri.
“Dan sekarang kau mengingat diriku lagi?”
“Ya. Aku mengingatmu. Aku tak pernah melupakanmu, Mr. Moody. Aku hanya berusaha mengabaikan semua perasaan itu.”
“Kau membohongi dirimu sendiri, Nona.”
“Tidak, karena aku bertemu sosokmu yang lain, yang ternyata sama saja denganmu. Melepaskanku begitu saja.”
“Kamu berharap dia menggantikanku?”
“Iya.”
“Kau tahu, aku tak tergantikan.”
“Entahlah….”
“Kau mencoba menghubungiku?”
“Iya.”
“Dan aku tak menghiraukanmu?”
“Iya. Aku mencoba, dan kau mengabaikanku seperti biasa. Itu sangat mengganggu, Mr. Moody. Apakah itu berarti kau membenciku?”
“Tidak. Sepertinya tak mungkin aku membencimu. Aku hanya tak mau menyakitimu, dan menyakiti diriku sendiri. Itu saja yang bisa ku katakan, Nona. Selanjutnya, biar waktu yang menjawabnya.”
“Kalau aku mau kau menjelaskan padaku sekarang, apa kau akan menjelaskannya?”
“Kau ini tetap saja, tidak mau bersabar. Bersabarlah, Nona. Bukankah Tuhanmu sudah berjanji akan bersama orang-orang yang bersabar? Tuhanmu tidak akan meninggalkanmu, Dia tidak akan membiarkanmu celaka. Teruslah berdoa, Nona. Kebaikan akan menghampirimu pada waktunya nanti. Entah kebaikan itu adalah bersamaku, atau bersama orang lain yang lebih baik dariku.”
“Jadi, kau tak mau menjelaskannya?”
“Bersabarlah, Nona. Nanti kau akan memahaminya. Aku akan ada di lorong ini, mendengarkanmu saat kau merasa dunia tak berpihak padamu. Sekarang berjalanlah ke arah cahaya. Cahaya itu akan membuatmu lebih nyaman. Cahaya itu akan menemanimu.”
“Apa aku masih bisa menemuimu, Mr. Moody? Apakah aku bisa mencurahkan perasaanku padamu seperti ini?”
“Aku selalu ada untukmu, Nona Manisku. Menemanimu, berusaha sebisa mungkin menguatkanmu.”
“Baiklah. Aku akan pergi menuju cahaya itu. Berjanjilah kau selalu disini pada saat-saat tergelapku.”
“Iya, aku berjanji.”
“Bye, Mr. Moody.” Lalu aku berjalan menuju cahaya. Cahaya yang menenangkan. Cahaya itu adalah janji kebahagiaan.

My Room, 23 Januari 2013
Jumat, 18 Januari 2013

Mr. Moody and me : I Met Another You


“Hey, I met another you, Mr. Moody!” tiba-tiba saja aku ingin berteriak. Tepat di lubang telingamu, Mr. Moody.
“What do you mean?”
“Ah, ya. Aku bertemu orang yang mirip denganmu. Apa yang kamu lakukan kepadaku. Kamu, Mr. Moody, dan dia tentunya, adalah orang yang memilih meninggalkanku dengan alasan yang sama denganmu. Dan dengan cara yang sama pula.”
“Siapa dia?”
“I told you, He is another you.”
“Oke, Nona Manis, ceritakan padaku.”
“Aku ga tahu, aku ga tau harus cerita dari mana.”
“Kamu selalu seperti ini, My Annoying Girl. Selalu bingung kalau mau bercerita padaku. Seolah ada bagian-bagian dari hidupmu yang aku tak boleh tau.”
“Oke, aku akan bercerita. Tapi sebelumnya aku katakan, ya, ada bagian-bagian dari hidupku yang tak akan kuceritakan kepadamu.”
“Baiklah, segeralah bercerita, sebelum aku berubah pikiran.”
“Begini, someday, after you broke me up, leave me, tanpa aku tau kenapa, yang menyebabkan aku melanjutkan hidupku saat itu dengan sejuta tanda tanya dan kemarahan yang ingin aku tumpahkan, aku bertemu dengan seseorang, umm… lebih tepatnya dipertemukan dengannya. Waktu itu aku hanya ingin bersenang-senang sih, dan baiklah, salah seorang kawanku berbaik hati mengajakku bersenang-senang bersama teman-teman yang sama sekali aku tak kenal. Bernyanyi. Kamu tahu, Mr Moody, bernyanyi bisa membuatku lebih tenang, menghadapi semua kegilaan yang muncul karena kamu. Dan kegilaan yang kamu munculkan saat itu, yang aku harap adalah kegilaan terakhir dalam hidupku karena kamu, adalah kenyataan bahwa aku mencintaimu, dan kamu, ya kamu Mr. Moody yang tersayang, meninggalkanku, meninggalkan sejuta janji yang kamu ucapkan, tanpa satupun alasan yang kamu berikan.
“Kembali pada pertemuanku dengan another you, Mr. Moody. Jadi singkat cerita, disanalah, disebuah ruang karaoke, tempat aku menumpahkan kegilaan dengan bernyanyi, aku bertemu dengannya. Another you. Karaoke berjalan lancar. Aku hanya mau bernyanyi saja saat itu, bahkan ga inget siapa saja teman-teman kawanku itu, yang tadi diperkenalkan kepadaku saat baru datang. Kamu tau beberapa yang sempet aku nyanyikan? Jar of Hearts - Christina Perri, Untitled - Maliq n D’essentials, dan lagu lain, lagu-lagu untukmu.
“Hanya begitu saja, Mr Moody. Kami hanya bertemu begitu saja, dan segera kembali pulang ketika acara bersenang-senang itu selesai.”
“Hanya begitu saja? Lalu bagaimana kamu tau dia seperti aku?”
“Karena dia menghubungiku setibanya aku dirumah. Malam hari. Ketika aku sedang berusaha membuat diriku benar-benar melupakanmu.”
“Bagaimana dia bisa menghubungimu kalau kalian tak pernah mengenal sebelumnya?”
“Kau lupa? Dia mengenal kawanku. Kawanku memberikan pin Blackberry-ku padanya. Dengan seizinku.”
“Kau mengizinkannya? Kau hanya butuh pelarian karena kamu patah hati bukan?”
“Patah hati? Pelarian? Kau tau aku tak pernah melakukan itu. Menjadikan orang lain sebagai pelarian bukanlah hal bijaksana. Aku mengizinkan kawanku memberitahukan pin BB ku karena dia punya alasan.”
“Apa alasannya?”
“Kawanku mengatakan bahwa dia, adalah salah satu teman terbaiknya, pintar, baik, bertanggung jawab, recommended for me. Yah kamu tahu kan, aku perlu seseorang yang bisa membuat mulutku diam, seseorang yang bisa membuat aku tunduk, ya, setidaknya dia harus lebih dewasa dari aku.”
“Seperti aku?”
“Bukan, Mr. Moody. Bukan sepertimu yang aku butuhkan. Bukan seseorang yang akan membiarkanku melakukan apapun semauku, dan menyalahkanku ketika aku melakukan kesalahan.”
“Jadi meurutmu aku seperti itu?”
“Iya. Nantilah kita obrolkan lagi. Kamu masih mau mendengar ceritaku?”
“Iya. Silakan dilanjutkan.”
“Akhirnya kami ngobrol banyak. Ternyata dia adalah sosok yang enak diajak bicara, lebih menyenangkan ngobrol dengan dia daripada denganmu, Mr Moody. Karena dia bukan perayu dan pengobral janji sepertimu.” Kataku sambil melirik Mr. Moody. Dia tampak sebal sekali. “Mukamu kelihatan jelek kalau sedang sebal, Mr Moody-ku.”
“Kau mau cerita atau mengejekku, Nona? Atau aku pergi saja biar kau tak perlu melihat muka sebalku?”
“Baiklah, baiklah. Aku lanjutkan. Dia banyak bercerita tentang dirinya, juga bertanya tentang diriku. Kadang aku juga menceritakan banyak hal tanpa ditanya, sih. You know me so well kan ya? I have unstoppable mouth. Ya begitulah, obrolan kami sangat menyenangkan sampai hampir 2 minggu.
“Dia juga mengatakan niat awalnya minta kenalan denganku. ‘Mungkin kita bisa cocok’ begitu katanya. Aku hanya tertawa mendengarnya. Aku sudah cukup banyak berhubungan dengan pria, jadi aku tahu terlalu cepat untuk bermain hati dengan seseorang yang baru saja ku kenal. Kurasa, dia bisa jadi benar-benar serius jika dia mau. Hanya saja, ehm, satu hal yang harus kau tahu, dia 5 bulan lebih muda dari aku. He is younger than me, tapi dia bisa membuat aku kagum dengan kedewasaannya. Mungkin karena dia banyak berhubungan dengan orang-orang yang lebih tua darinya, atau dia terlalu banyak belajar, sehingga aku merasa seharusnya dia lebih tua dariku. Seharusnya begitu. Aku berharap seperti itu saja keadaannya. Tapi mau bagaimana lagi, dia terlahir setelah usiaku 5 bulan.”
“Jangan bilang, kau mempermasalahkan usiamu dan keinginanmu untuk menikah? Ku kira kau sudah tak ingin cepat menikah lagi, ku kira kau sudah paham kalau menikah itu……”
“Jangan disela, dong. Aku belum selesai cerita. Kau ini sok tahu sekali.” Giliran aku yang pasang muka sebal.
“Kau jelek sekali kalau lagi sebel.”
“Mau lanjut ga ceritanya?”
“Iya, mau. Aku diam, deh.”
“Bukan aku yang mempermasalahkannya, Mr. Moody yang terhormat. Tapi dia, dia yang terlalu memikirkan itu.  Wajar sih, karena dulunya aku seperti itu. dan kebanyakan wanita seusiaku juga pasti mulai berpikir tentang pernikahan. Padahal aku sudah bilang, ga usah terlalu memikirkan hal itu. Jalani saja semuanya. Bukankah seperti itu akan lebih mudah untuknya? Dan aku tentu saja.
“Tapi dia tak mau mendengarku. Golongan darah B dan zodiak Aquarius, sama denganmu, Mr. Moody, dan dia bertingkah sepertimu. Selalu mengambil tindakan sendiri, tanpa bertanya, tanpa meminta pendapat orang lain, tanpa diskusi dengaku. Padahal jelas itu menyangkut aku. Padahal hal itu sedikit banyak akan mempengaruhiku.
“Kamu tau, dia melakukan hal yang sama denganmu. Ketika dia sedang galau, dia diam, bertingkah aneh, tak menghubungiku sama sekali. Oh ya, kamu perlu tahu kalau aku sudah beberapa kali bertemu dengan dia, berdua saja, sejak aku dikenalkan padanya. Ini juga yang membuatnya berbeda denganmu. Karena kamu sedikitpun tak berusaha untuk menemuiku. Terakhir kali kami bertemu, setelah acara pernikahan salah seorang kenalan kami, kami hanya duduk-duduk di sebuah warung jus, dengan make up kondangan lengkap dengan clutch bag yang kubawa. Berbicara, kami membicarakan apa saja. Tentang dia yang pernah punya usaha es degan, tentang dia yang pernah terlibat dalam acara tingkat nasional. Menyenangkan sekali mendengar cerita-ceritanya. Dia orang hebat, dia akan menjadi orang yang lebih hebat lagi. Aku tahu itu.
“Lalu obrolan berlanjut lewat BBM, karena aku harus segera pulang. Dia bercerita tentang rencana-rencananya, mimpi-mimpinya yang aku tahu akan dia wujudkan. Tentang rencananya untuk melanjutkan sekolah sampai S3, tentang kapan dia akan merasa siap untuk menikah. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. Tampak sekali dari obrolannya, sekalipun hanya berupa tulisan, aku selalu tahu kalau seseorang itu sedang senang, marah atau sedang tidak ingin diganggu.”
“Berarti kamu tahu ketika aku sedang tidak ingin diganggu?”
“Iya.”
“Lalu kenapa kau masih menggangguku padahal kamu tau aku sedang tak ingin diganggu?”
“Karena aku ingin kau bercerita. Mungkin aku punya solusi. Lagi pula, kamu tak ingin diganggu karena memikirkan aku kan? Bagaimana mungkin aku bisa diam?”
“Darimana kau tahu?”
“Aku tahu saja.”
“Hhmm… terserah kau lah. Lanjutkan saja ceritamu.”
“Dia bertingkah aneh. Seperti sengaja membuat aku kesal. Lalu diam, tak menghubungiku sama sekali selama seminggu, kecuali saat dia mengajakku untuk bertemu. Kejadiannya mirip sekali kejadian denganmu dulu, ya, Mr. Moody. Mirip sekali. Kamu diam, menghindari obrolan denganku, sibuk dengan duniamu, menyakitiku dengan ketidakperdulianmu. Kamu tahu, sangat menyakitkan jika itu dilakukan oleh orang yang sangat kamu cintai.”
“Maaf.”
“Aku sudah lupa. Tapi thanks ya, karena kamu, aku belajar banyak. Aku belajar untuk membaca situasi. Belajar untuk menjaga hati. Sehingga, ketika dia, Another You, melakukan hal yang sama persis denganmu, aku sudah bisa membacanya, bisa menyiapkan diri untuk hal terburuk yang mungkin dia katakan saat aku bertemu dengannya nanti. Karena dia sangat mirip denganmu, Mr. Moody.
“Saat kami bertemu, di sebuah kedai kopi, dia banyak meminta maaf. Karena, ternyata dia memilih untuk berteman saja denganku. Seperti dugaanku, masalah usia, rencana-rencana, dan ketakutan-ketakutannyalah yang menyebabkan dia memutuskan berteman saja denganku. Dia terlalu serius memikirkan hal itu sendiri. Ga mau membaginya denganku, juga dengan teman-temannya. Dia sendirian memutuskan hal itu, sama sepertimu. Keputusan yang menyebalkan sebenarnya.
“Tapi, ada yang membuatnya berbeda denganmu. Dia tidak membuatku membencinya seperti kau membuatku membencimu. Dia adalah Gentleman pertama dalam hidupku. Pria yang menghargaiku, memikirkan masa depanku, dan dia, berani berterus terang langsung dihadapanku, menemuiku dan meminta maaf berulang kali atas apa yang dia lakukan. Sesuat yang tak pernah kamu lakukan. Benar kan, Mr. Moody?”
“Mungkin. Tapi aku punya alasan.”
“Simpan saja alasanmu. Aku tidak membutuhkannya saat ini.”
“Baiklah. Lalu bagaimana hubunganmu dengannya sekarang?”
“Baik. Dia kembali menjadi teman ngobrol yang baik lagi, walau aku tak merasa butuh berbicara banyak padanya lagi.”
“Kau patah hati, Nona Manis?”
“Mungkin, tapi aku berusaha melihat hal yang lucu disini.”
“Apa yang lucu?”
“kau tidak melihatnya? Coba kau telaah lagi ceritaku, bagaimana mungkin aku bisa bertemu dua orang dengan kelakuan dan keinginan yang sama, memperlakukanku dengan cara yang sama, dan meninggalkanku dengan alasan yang hampir sama. Dan, kau dan dia muncul dalam jeda yang singkat.”
“Hahaha. Ada-ada saja kau ini. Baiklah, cerita sudah selesai. Aku pamit dulu. Bye Nona Manis, My Annoying Girl.”
“Bye, Mr. Moody”
Lalu semua berubah menjadi gelap. Kembali menjadi ruang-ruang penuh liku di oatakku. Kembali menjadi ruang-ruang penuh ingatan yang bercampur aduk. Setelah selama satu jam ruang-ruang ingatan itu kutekan ke tepi, untuk memberi ruang percakapanku dengan Mr. Moody. Ya, aku bercakap-cakap dengan Mr. Moody, melalui ingatanku.

Sweethouse, 18 Januari 2013
Jumat, 11 Januari 2013

Do’a


Pernah ga kalian ga percaya sama doa-doa? I was. Aku pernah sekali dalam hidupku, berhenti berdoa, berhenti meminta pada Tuhan. Ya, aku Islam, aku tetep sholat, tetep melakukan kewajibanku, tapi hanya itu yang aku lakukan. Tidak lebih. Merasa tidak perlu meminta lebih lagi, memohon lebih lagi untuk mencapai keinginanku.
Kalian mungkin bingung, kalo km percaya Tuhan itu ada, seharusnya kamu juga percaya bahwa Tuhan itu bisa segalanya. Ya, aku tahu Tuhan bisa melakukan apapun. Tapi kalo Tuhan bisa melakukan apapun, kenapa Tuhan ga mengabulkan permintaanku? Padahal seharusnya mudah bagi Tuhan untuk melakukan itu. Kira-kira begitulah pikiranku saat itu.
Lalu permintaan apa yang ga bisa dikabulkan Tuhan versiku? Okelah, aku jujur aja sama kalian, kalo aku pengen banget nikah tahun 2012. Tepatnya 12 Desember 2012. Tanggal paling cantik menurutku. Aku pengen banget hari itu jadi hari paling bahagia dalam hidupku. Menikah sama orang yang tepat, wow, itu adalah pencapaian luar biasa dari targetku tahun itu.
What? Nikah jadi target? Jangan kaget, ah. Iya, nikah pas tanggal paling cantik itu adalah target paling luar biasa selama 5 tahun. Bayangkan kalo target besarmu selama 5 tahun terakhir gagal. Gagal total sodara-sodara. Padahal aku udah milih-milih gaun pengantin, udah nyari-nyari tempat make up pengantin yg oke, udah nanya-nanya persiapan apa yang harus disiapkan saat mau nikah, jd begitu ada pangeran ganteng yang datang ngelamar aku, bisa langsung tancap gas. Hehehe….
Gila ya, iya, aku ngaku kalo aku emang gila. Gila karena mimpi gila dan salah menafsirkan buku-buku motivasi gila yang sempet aku baca. Ada buku yang entah yang mana yang kubaca saat itu, yang mengatakan kalo mau punya pasangan, silakan bayangkan bahwa anda sudah punya pasangan, dan silakan mempersiapkan kehadirannya, walaupun sebenernya belom ada tuh jodohnya. Dan hal bodoh yang aku lakukan adalah nurut aja apa kata buku motivasi itu tanpa ditelaah dulu, kira-kira jadi gila ga kalo aku nuruti buku itu. Dan ternyata bener kan, aku jadi terobsesi sama mimpi itu. Sampe-sampe aku berencana mau buat list undangan dan biaya yang bakal aku keluarkan. *silakan ngakak dan ngatain aku gila*
Oke, kita kembali ke pembahasan awal, gimana bisa obsesi itu bisa meruntuhkan kepercayaanku terhadap doa-doa. Gini, pernah ga kamu pengen sesuatu setengah mati, selama 5 tahun, dan ketika saatnya sudah hampir tiba, segalanya begitu menyebalkan. Dan kamu harus menghadapi hal menyebalkan. Karena hampir semua orang yang follow twittermu, orang yang jadi friends di facebookmu, dan yang ada di kontak bbm mu, tahu kalo kamu teramat sangat terobsesi dengan tanggal itu, dan kamu gagal mencapainya. Baah! Pengen ngamuk? Iya. Pengen ngilang dari dunia (ngilang beda sama mati ya)? Banget. Malu, jengkel dan haloo,, kemana itu doa-doa yang selalu aku panjatkan? Kemana perginyaa??? Gitu kali ya protes dari hatiku yang terdalam.
Sejak saat itu, aku berhenti berdoa. Percuma kan susah-susah berdoa kalo ga terkabul. Dan aku menjalani hidupku selama berhari-hari dengan skeptik, ditambah lagi, my beloved boy, pergi gitu aja ninggalin aku, tanpa sebuah alasanpun yang ditinggalkan untukku. Galau to the max, banget ga kira-kira.
Lalu aku berusaha untuk berdamai dengan kegagalan dan ketololan. Aku mengundurkan niatku menikah jadi sampe taun 2013. Ya, nikah jadi resolusiku tahun 2013. Sampe pada akhirnya, ketika perayaan tahun baru ala aku dan teman-temanku, dengan truth or dare dan permainan uno sampe dini hari, pas ditanya apa resolusiku tahun 2013, dan jawabanku tetep masih mau menikah, salah seorang teman dengan sangat tidak sopan dan menohok bilang, “resolusi kok ga pernah berubah, neng?” dan kamu tahu rasanya ditusuk pake pisau ga kentara tepat di pusat jantungmu, kayak gitu kali ya rasanya. Nancep banget. Dan akhirnya, setelah obrolan berakhir dan aku harus kembali ke rumah yang kucintai, aku mulai berpikir.
Apa bener nikah bisa dijadiin resolusi? Resolusi itu apa sih? Sesuatu yang bisa kita usahakan sendiri sampe tercapai kan? Menurutku gitu sih. Tapi apa nikah ini bisa diusahakan sendiri? Kecuali kamu mau nikah sama dirimu sendiri atau bayanganmu di cermin. Ga bisa, nikah bukan hanya tentang bagaimana kamu mencapainya. Nikah terlalu banyak melibatkan pihak lain yang mana tidak bisa kita kontrol. Kita ga bisa mengontrol pasangan kita, sama ga mungkinnya dengan mengontrol orang tua dan calon mertua kita. Belom lagi kalo harus berurusan dengan hal-hal prinsip seperti apa yang kamu inginkan untuk mengisi pernikahan itu. masing-masing orang beda, dan harus dibicarakan lebih lanjut memang.
Terlalu banyak hal-hal yang diluar kuasa kita. Banyak sekali sehingga aku menyadari bahwa menikah bukanlah suatu target. Menikah adalah masalah apakah aku dan entah siapa yang akan menjadi jodohku nanti siap menghadapi konsekuensinya.  Menikah sangat beresiko ketika kita tidak siap menghadapinya. Bayangkan ketika dalam pernikahan tidak ada yang mau mengalah, tidak ada kompromi. Itu akan menjadikan pernikahanmu layaknya neraka. Aku bukannya mau nakut-nakuti ya, aku hanya mau mengingatkan supaya siapapun yang membaca tulisan ini dan sedang menghadapi kegalauan seperti yang pernah aku rasakan, lebih baik bersiap-siap. Berfokuslah pada bagaimana kamu akan menjalani pernikahan, bukan pada pernikahan seperti apa yang kalian inginkan. Ngerti kan maksudku? Jadi belajarlah jadi istri yang baik, bukan hanya belajar masak, tapi belajarlah memahami orang lain selain dirimu. Karena kamu dan suamimu nantinya, aku yakin tidak selalu sejalan. Betul nggak?
Thanks buat Mr. Moody ku, yang gembul itu, yang ga pernah berhenti buat ngingetin aku agar tidak terlalu ngotot sama rencana-rencanaku, sampai aku paham bahwa aku belom siap nikah, Mister. You’re right! Quote dari Mr. Moody, “Jadi orang yang sabar, ikhlas, dan cobalah berdamai dengan dirimu sendiri. Supaya hidupmu berjalan lebih mudah.”
Dan sekarang, aku mulai berdoa lagi, untuk mimpi-mimpiku, untuk banyak hal yang aku yakin akan terwujud. Aku mulai percaya lagi dengan doa-doa. Karena sebenernya doa yang kita panjatkan pasti akan naik ke Atas, ke langit, berproses, dan menanti waktu yang tepat untuk turun kembali ke bumi, mewujudkan mimpi-mimpi yang kita titipkan pada doa-doa itu. lalu bagaimana dengan doa-doa yang tidak terwujud? Percayalah, Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk kita, dan yang kita butuhkan. Percayalah bahwa doa-doa kita akan kembali kepada kita dalam bentuk terbaik dan dalam bentuk yang paling kita butuhkan.
Yak, jadi karena saya belom siap nikah, mari kita lanjutkan mimpi-mimpi yang lain, mimpi-mimpi yang sempat tertunda, dan pastikan, mulut dan hati kita tidak pernah berhenti berdoa, juga tangan kita, jangan sampai berhenti berusaha. Sekian.

Sweethouse, 11-01-13