“Kau ada di sini Mr.
Moody?” aku berjalan kembali. Melewati lorong gelap pikiranku. Seperti biasa.
Ketika kemarahan menghampiriku. Tempat ini dan Mr. Moody selalu bisa
menenangkanku.
“Iya, aku di sini.
Aku sudah berjanji padamu, bukan?”
“Apa kau tahu aku akan
datang malam ini?” aku memutar tubuhku, mencari-cari sumber suara. Kegelapan
sempurna menyembunyikan sosok yang selalu menemaniku disaat-saat tergelapku.
Setidaknya dia pernah berjanji seperti itu.
“Iya, aku tahu.”
Suara itu semakin mendekat. Seolah dia tahu dimana bisa menemukanku di ruangan
gelap ini.
“Bagaimana kau tahu?”
Aku berhenti mencarinya, lalu meraba-raba kegelapan mencari sandaran. Menyandarkan
punggungku yang lelah menahan begitu banyak kekesalan.
“Karena aku merasakan
kemarahanmu, kekesalanmu. Hal-hal yang melukaimu selalu membuat dadaku terasa
tercabik. Aku tahu aku di luar sana sedang menyakitimu lagi.”
“Kau benar. Dirimu
yang lain telah menyakitiku lagi. Mengabaikanku. Tak lagi mengharapkanku.”
“Apa yang dia
lakukan?”
“Aku merindukannya,
aku merindukan dirimu di dunia nyata. Aku ingin mendengar suaranya, bercerita
lagi dengannya. Memulai lagi dari awal, memulai lagi mencintainya tanpa
kebencian. Tapi dia, sosokmu di dunia nyata tak pernah mau tahu. Dan terus saja
menyakitiku dengan pengabaian yang selalu dia lakukan ketika aku mencoba lagi memulai
hubungan baik kami.
“Aku tak tau. Mengapa
dia begitu menyebalkan. Dia jauh berbeda denganmu. Kamu selalu mendengarkanku,
dia tidak. Dia tidak pernah mau tau apa yang aku rasakan. Aku lelah Mr. Moody.
Lelah sekali merasakan bahwa apa yang aku harapkan, untuk kesekian kali harus
hancur. Dihancurkan oleh hal menyesakkan seperti ini.”
“Aku tak tau harus
mengatakan apa, Nona.”
“Kau tak harus
mengatakan apapun jika kau tak ingin, Mr. Moody. Kau hanya perlu mendengarkanku, menemaniku
berkeluh kesah di ruang gelap ini.”
“Maafkan aku, Nona.
Sungguh maafkan aku. Aku tahu itu menyesakkan. Aku tahu itu sangat menyakitkan
untukmu. Tapi aku tak dapat melakukan apapun selain mendengarkanmu. Aku memang
bagian dirinya, tapi kami tidaklah sama.”
“Sudah kubilang, kau
hanya perlu mendengarkanku.”
“Baiklah,
berceritalah lagi.”
“Baiklah, aku akan
bercerita lagi. Aku merindukannya. Teramat merindukannya. Rindu yang membuatku
menghubunginya lagi, dan lagi. Aku berusaha berbincang dengannya. Mencoba
membuatnya berbicara lagi denganku. Aku memintanya meneleponku.” Aku
memerosotkan tubuhku, duduk terkulai di lantai batu yang dingin. Berusaha
menahan tangis yang menyesakkan dadaku.
“Dan dia
meneleponmu?”
Aku mengangguk. “Iya.
Dengan suara yang bukan miliknya. Aku tahu itu dia, tapi yang meneleponku
adalah dia yang lain, dia yang dingin dan tak bersahabat. Dia yang selalu
menoreh luka. Dia yang….” Aku tercekat, menahan tangis membuat dadaku semakin
sesak.
“Menangislah, Nona.
Menangislah kalo itu bisa membuatmu lega.”
Tangisku semakin
deras. Aku terisak, bahuku naik turun. “Dia tidak menginginkanku lagi.” Aku
menggigit bibirku hingga perih. Aku tak dapat menghentikan tangis ini. Air mata
mengalir dengan deras. Semakin deras ketika aku kembali teringat betapa hal itu
sangat menyakitkan.
“Maafkan aku.” Suara
Mr. Moody terdengar begitu pelan. “Aku tak pernah ingin kau merasakan hal ini.
Aku tak pernah ingin dirimu tersakiti. Apalagi oleh dia. Dimana aku adalah
bagian dari dirinya yang hidup di dalam benakmu.” Suaranya tampak sama
menderitanya sepertiku. Hanya saja aku tak dapat melihat wajahnya.
“Tapi kau memiliki
suara seperti dirinya yang hangat. Dia yang kucintai.”
“Tapi aku hanyalah
banyangan dirinya yang berada dalam benakmu, Nona. Aku adalah dirinya seperti
yang kau inginkan. Aku bukan dirinya yang sesungguhnya.”
“Mengapa aku tak bisa
melihatmu, Mr. Moody-ku? Aku ingin sekali melihatmu.” Aku menghapus air mata
dipipiku. Mr. Moody benar, menangis bisa membuatku lega. Membuang semua
kekesalanku. Mr. Moody begitu berbeda dengan dirinya di dunia nyata. Di sana,
dia tidak pernah bisa memahami saat aku menangis. Baginya, tangisanku sangat
mengganggunya.
“Apa ada bedanya bisa
melihatku atau tidak, Nona? Mungkin lebih baik kau tak perlu melihatku.
Cukuplah suaraku yang terus berbincang menemanimu setiap kali kau
membutuhkanku.” Lama sekali, Mr. Moody baru menjawab.
“Tapi aku ingin
melihatmu, Mr. Moody.”
“Kau ini tetap saja
keras kepala dan tidak mau menyerah, Nona. Tapi maaf, ada hal-hal tertentu yang
mungkin tak bisa dan tak akan kuberikan padaku. Cukupkan dirimu berpuas dengan
apa yang aku berikan. Kau butuh teman berkeluh kesah, bukan? Aku disini,
mendengarkanmu saat kau berkeluh kesah. Kau juga butuh orang akan menemanimu
saat kau ingin menangis, bukan? Maka aku disini menemanimu. Kalau boleh tahu,
apa yang dia katakan yang menyakitimu, Nona?”
“Suaranya yang
dingin, pertanyaan basa basi, dia terganggu dengan kehadiranku. Dia tidak
menginginkanku dalam hidupnya lagi.”
“Apa perkataannya
menyakitimu?”
“Tidak. Perkataannya
tidak menyakitiku. Tapi cara dia berbicara denganku yang membuatku merasa
terbuang. Cuma sebentar, lalu dia pamit dan meneruskan pekerjaannya. Hanya itu,
dan hal itu cukup untuk menghancurkanku lagi. Telepon singkat darinya yang
menghancurkan hatiku lagi.”
“Aku tak tahu harus
berkata apa, Nona. Aku juga tak tahu mengapa dia melakukan itu.”
“Lalu apa yang harus
aku lakukan, Mr. Moody? Apa yang harus aku lakukan? Melupakannya bukanlah
pilihan yang mudah, kau pasti tahu itu. Lalu apa yang bisa aku lakukan untuk
membangun hatiku yang porak poranda ini?”
“Bersabarlah, Nona.
Sekali lagi aku ingatkan, kau punya Tuhan yang bisa menolongmu. Berdoalah
kepada-Nya.”
“Selalu. Aku selalu
berdoa untukku, juga untuknya. Aku berdoa untuk kebahagiaanku dan juga kebahagiaannya.
Mungkin bersama dengannya tampaknya sulit sekali terwujud. Jika aku tak bisa
bersama dengannya, setidaknya kami masih bisa bahagia dengan pilihan kita
masing-masing. Sekalipun akan sangat menyakitkan.”
“Jangan pernah
berhenti berdoa, Nona. Jangan pernah berhenti. Aku yakin Tuhanmu sedang mempersiapkan
kehidupan yang terbaik untukmu. Menyiapkan kebahagiaan untuk dirimu. Maka
tersenyumlah, Nona. Selalu tersenyumlah.” Tanpa sadar aku tersenyum mendengar
perkataannya. “Kau tampak cantik sekali jika tersenyum seperti itu, Nona.”
“Kau bohong, kan? Kau
hanya berusaha untuk menghiburku. Kau tak bisa melihatku dalam ruangan gelap
ini.”
“Tidak, Nona. Aku benar-benar
mengatakannya dan aku… aku bisa melihatmu dengan jelas. Ini tempatku tinggal,
Nona. Aku bisa melihat dengan jelas di sini.”
“Kau pasti bercanda.
Tapi terima kasih atas pujiannya, Mr. Moody-ku. Kau selalu bisa diandalkan.”
Senyumku semakin lebar.
“Sama-sama, Nona
Manis. Sekarang kembalilah kesana, ke lorong yang lebih terang, kau akan merasa
lebih nyaman disana.”
“Kau tak ikut
kesana?”
“Tidak. Tempatku
adalah di sini. Aku akan selalu disini menemanimu disaat-saat tergelapmu.”
“Bye.”
“Bye, Nona Manis-ku.
Berbahagialah.”
Aku kembali melangkah
menuju lorong yang lebih terang. Tempat cahaya menyinari. Tempat cahaya
menghangatkan dinginnya hati yang menangis. Perlahan cahaya menelanku dalam
kehangatan. Aku merasa lebih bahagia. Lalu aku membuka mataku dan tersenyum.
Surabaya, 28 Januari 2013
0 komentar:
Posting Komentar