Click Here For Free Blog Templates!!!
Blogaholic Designs

Pages

Jumat, 18 Januari 2013

Mr. Moody and me : I Met Another You


“Hey, I met another you, Mr. Moody!” tiba-tiba saja aku ingin berteriak. Tepat di lubang telingamu, Mr. Moody.
“What do you mean?”
“Ah, ya. Aku bertemu orang yang mirip denganmu. Apa yang kamu lakukan kepadaku. Kamu, Mr. Moody, dan dia tentunya, adalah orang yang memilih meninggalkanku dengan alasan yang sama denganmu. Dan dengan cara yang sama pula.”
“Siapa dia?”
“I told you, He is another you.”
“Oke, Nona Manis, ceritakan padaku.”
“Aku ga tahu, aku ga tau harus cerita dari mana.”
“Kamu selalu seperti ini, My Annoying Girl. Selalu bingung kalau mau bercerita padaku. Seolah ada bagian-bagian dari hidupmu yang aku tak boleh tau.”
“Oke, aku akan bercerita. Tapi sebelumnya aku katakan, ya, ada bagian-bagian dari hidupku yang tak akan kuceritakan kepadamu.”
“Baiklah, segeralah bercerita, sebelum aku berubah pikiran.”
“Begini, someday, after you broke me up, leave me, tanpa aku tau kenapa, yang menyebabkan aku melanjutkan hidupku saat itu dengan sejuta tanda tanya dan kemarahan yang ingin aku tumpahkan, aku bertemu dengan seseorang, umm… lebih tepatnya dipertemukan dengannya. Waktu itu aku hanya ingin bersenang-senang sih, dan baiklah, salah seorang kawanku berbaik hati mengajakku bersenang-senang bersama teman-teman yang sama sekali aku tak kenal. Bernyanyi. Kamu tahu, Mr Moody, bernyanyi bisa membuatku lebih tenang, menghadapi semua kegilaan yang muncul karena kamu. Dan kegilaan yang kamu munculkan saat itu, yang aku harap adalah kegilaan terakhir dalam hidupku karena kamu, adalah kenyataan bahwa aku mencintaimu, dan kamu, ya kamu Mr. Moody yang tersayang, meninggalkanku, meninggalkan sejuta janji yang kamu ucapkan, tanpa satupun alasan yang kamu berikan.
“Kembali pada pertemuanku dengan another you, Mr. Moody. Jadi singkat cerita, disanalah, disebuah ruang karaoke, tempat aku menumpahkan kegilaan dengan bernyanyi, aku bertemu dengannya. Another you. Karaoke berjalan lancar. Aku hanya mau bernyanyi saja saat itu, bahkan ga inget siapa saja teman-teman kawanku itu, yang tadi diperkenalkan kepadaku saat baru datang. Kamu tau beberapa yang sempet aku nyanyikan? Jar of Hearts - Christina Perri, Untitled - Maliq n D’essentials, dan lagu lain, lagu-lagu untukmu.
“Hanya begitu saja, Mr Moody. Kami hanya bertemu begitu saja, dan segera kembali pulang ketika acara bersenang-senang itu selesai.”
“Hanya begitu saja? Lalu bagaimana kamu tau dia seperti aku?”
“Karena dia menghubungiku setibanya aku dirumah. Malam hari. Ketika aku sedang berusaha membuat diriku benar-benar melupakanmu.”
“Bagaimana dia bisa menghubungimu kalau kalian tak pernah mengenal sebelumnya?”
“Kau lupa? Dia mengenal kawanku. Kawanku memberikan pin Blackberry-ku padanya. Dengan seizinku.”
“Kau mengizinkannya? Kau hanya butuh pelarian karena kamu patah hati bukan?”
“Patah hati? Pelarian? Kau tau aku tak pernah melakukan itu. Menjadikan orang lain sebagai pelarian bukanlah hal bijaksana. Aku mengizinkan kawanku memberitahukan pin BB ku karena dia punya alasan.”
“Apa alasannya?”
“Kawanku mengatakan bahwa dia, adalah salah satu teman terbaiknya, pintar, baik, bertanggung jawab, recommended for me. Yah kamu tahu kan, aku perlu seseorang yang bisa membuat mulutku diam, seseorang yang bisa membuat aku tunduk, ya, setidaknya dia harus lebih dewasa dari aku.”
“Seperti aku?”
“Bukan, Mr. Moody. Bukan sepertimu yang aku butuhkan. Bukan seseorang yang akan membiarkanku melakukan apapun semauku, dan menyalahkanku ketika aku melakukan kesalahan.”
“Jadi meurutmu aku seperti itu?”
“Iya. Nantilah kita obrolkan lagi. Kamu masih mau mendengar ceritaku?”
“Iya. Silakan dilanjutkan.”
“Akhirnya kami ngobrol banyak. Ternyata dia adalah sosok yang enak diajak bicara, lebih menyenangkan ngobrol dengan dia daripada denganmu, Mr Moody. Karena dia bukan perayu dan pengobral janji sepertimu.” Kataku sambil melirik Mr. Moody. Dia tampak sebal sekali. “Mukamu kelihatan jelek kalau sedang sebal, Mr Moody-ku.”
“Kau mau cerita atau mengejekku, Nona? Atau aku pergi saja biar kau tak perlu melihat muka sebalku?”
“Baiklah, baiklah. Aku lanjutkan. Dia banyak bercerita tentang dirinya, juga bertanya tentang diriku. Kadang aku juga menceritakan banyak hal tanpa ditanya, sih. You know me so well kan ya? I have unstoppable mouth. Ya begitulah, obrolan kami sangat menyenangkan sampai hampir 2 minggu.
“Dia juga mengatakan niat awalnya minta kenalan denganku. ‘Mungkin kita bisa cocok’ begitu katanya. Aku hanya tertawa mendengarnya. Aku sudah cukup banyak berhubungan dengan pria, jadi aku tahu terlalu cepat untuk bermain hati dengan seseorang yang baru saja ku kenal. Kurasa, dia bisa jadi benar-benar serius jika dia mau. Hanya saja, ehm, satu hal yang harus kau tahu, dia 5 bulan lebih muda dari aku. He is younger than me, tapi dia bisa membuat aku kagum dengan kedewasaannya. Mungkin karena dia banyak berhubungan dengan orang-orang yang lebih tua darinya, atau dia terlalu banyak belajar, sehingga aku merasa seharusnya dia lebih tua dariku. Seharusnya begitu. Aku berharap seperti itu saja keadaannya. Tapi mau bagaimana lagi, dia terlahir setelah usiaku 5 bulan.”
“Jangan bilang, kau mempermasalahkan usiamu dan keinginanmu untuk menikah? Ku kira kau sudah tak ingin cepat menikah lagi, ku kira kau sudah paham kalau menikah itu……”
“Jangan disela, dong. Aku belum selesai cerita. Kau ini sok tahu sekali.” Giliran aku yang pasang muka sebal.
“Kau jelek sekali kalau lagi sebel.”
“Mau lanjut ga ceritanya?”
“Iya, mau. Aku diam, deh.”
“Bukan aku yang mempermasalahkannya, Mr. Moody yang terhormat. Tapi dia, dia yang terlalu memikirkan itu.  Wajar sih, karena dulunya aku seperti itu. dan kebanyakan wanita seusiaku juga pasti mulai berpikir tentang pernikahan. Padahal aku sudah bilang, ga usah terlalu memikirkan hal itu. Jalani saja semuanya. Bukankah seperti itu akan lebih mudah untuknya? Dan aku tentu saja.
“Tapi dia tak mau mendengarku. Golongan darah B dan zodiak Aquarius, sama denganmu, Mr. Moody, dan dia bertingkah sepertimu. Selalu mengambil tindakan sendiri, tanpa bertanya, tanpa meminta pendapat orang lain, tanpa diskusi dengaku. Padahal jelas itu menyangkut aku. Padahal hal itu sedikit banyak akan mempengaruhiku.
“Kamu tau, dia melakukan hal yang sama denganmu. Ketika dia sedang galau, dia diam, bertingkah aneh, tak menghubungiku sama sekali. Oh ya, kamu perlu tahu kalau aku sudah beberapa kali bertemu dengan dia, berdua saja, sejak aku dikenalkan padanya. Ini juga yang membuatnya berbeda denganmu. Karena kamu sedikitpun tak berusaha untuk menemuiku. Terakhir kali kami bertemu, setelah acara pernikahan salah seorang kenalan kami, kami hanya duduk-duduk di sebuah warung jus, dengan make up kondangan lengkap dengan clutch bag yang kubawa. Berbicara, kami membicarakan apa saja. Tentang dia yang pernah punya usaha es degan, tentang dia yang pernah terlibat dalam acara tingkat nasional. Menyenangkan sekali mendengar cerita-ceritanya. Dia orang hebat, dia akan menjadi orang yang lebih hebat lagi. Aku tahu itu.
“Lalu obrolan berlanjut lewat BBM, karena aku harus segera pulang. Dia bercerita tentang rencana-rencananya, mimpi-mimpinya yang aku tahu akan dia wujudkan. Tentang rencananya untuk melanjutkan sekolah sampai S3, tentang kapan dia akan merasa siap untuk menikah. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. Tampak sekali dari obrolannya, sekalipun hanya berupa tulisan, aku selalu tahu kalau seseorang itu sedang senang, marah atau sedang tidak ingin diganggu.”
“Berarti kamu tahu ketika aku sedang tidak ingin diganggu?”
“Iya.”
“Lalu kenapa kau masih menggangguku padahal kamu tau aku sedang tak ingin diganggu?”
“Karena aku ingin kau bercerita. Mungkin aku punya solusi. Lagi pula, kamu tak ingin diganggu karena memikirkan aku kan? Bagaimana mungkin aku bisa diam?”
“Darimana kau tahu?”
“Aku tahu saja.”
“Hhmm… terserah kau lah. Lanjutkan saja ceritamu.”
“Dia bertingkah aneh. Seperti sengaja membuat aku kesal. Lalu diam, tak menghubungiku sama sekali selama seminggu, kecuali saat dia mengajakku untuk bertemu. Kejadiannya mirip sekali kejadian denganmu dulu, ya, Mr. Moody. Mirip sekali. Kamu diam, menghindari obrolan denganku, sibuk dengan duniamu, menyakitiku dengan ketidakperdulianmu. Kamu tahu, sangat menyakitkan jika itu dilakukan oleh orang yang sangat kamu cintai.”
“Maaf.”
“Aku sudah lupa. Tapi thanks ya, karena kamu, aku belajar banyak. Aku belajar untuk membaca situasi. Belajar untuk menjaga hati. Sehingga, ketika dia, Another You, melakukan hal yang sama persis denganmu, aku sudah bisa membacanya, bisa menyiapkan diri untuk hal terburuk yang mungkin dia katakan saat aku bertemu dengannya nanti. Karena dia sangat mirip denganmu, Mr. Moody.
“Saat kami bertemu, di sebuah kedai kopi, dia banyak meminta maaf. Karena, ternyata dia memilih untuk berteman saja denganku. Seperti dugaanku, masalah usia, rencana-rencana, dan ketakutan-ketakutannyalah yang menyebabkan dia memutuskan berteman saja denganku. Dia terlalu serius memikirkan hal itu sendiri. Ga mau membaginya denganku, juga dengan teman-temannya. Dia sendirian memutuskan hal itu, sama sepertimu. Keputusan yang menyebalkan sebenarnya.
“Tapi, ada yang membuatnya berbeda denganmu. Dia tidak membuatku membencinya seperti kau membuatku membencimu. Dia adalah Gentleman pertama dalam hidupku. Pria yang menghargaiku, memikirkan masa depanku, dan dia, berani berterus terang langsung dihadapanku, menemuiku dan meminta maaf berulang kali atas apa yang dia lakukan. Sesuat yang tak pernah kamu lakukan. Benar kan, Mr. Moody?”
“Mungkin. Tapi aku punya alasan.”
“Simpan saja alasanmu. Aku tidak membutuhkannya saat ini.”
“Baiklah. Lalu bagaimana hubunganmu dengannya sekarang?”
“Baik. Dia kembali menjadi teman ngobrol yang baik lagi, walau aku tak merasa butuh berbicara banyak padanya lagi.”
“Kau patah hati, Nona Manis?”
“Mungkin, tapi aku berusaha melihat hal yang lucu disini.”
“Apa yang lucu?”
“kau tidak melihatnya? Coba kau telaah lagi ceritaku, bagaimana mungkin aku bisa bertemu dua orang dengan kelakuan dan keinginan yang sama, memperlakukanku dengan cara yang sama, dan meninggalkanku dengan alasan yang hampir sama. Dan, kau dan dia muncul dalam jeda yang singkat.”
“Hahaha. Ada-ada saja kau ini. Baiklah, cerita sudah selesai. Aku pamit dulu. Bye Nona Manis, My Annoying Girl.”
“Bye, Mr. Moody”
Lalu semua berubah menjadi gelap. Kembali menjadi ruang-ruang penuh liku di oatakku. Kembali menjadi ruang-ruang penuh ingatan yang bercampur aduk. Setelah selama satu jam ruang-ruang ingatan itu kutekan ke tepi, untuk memberi ruang percakapanku dengan Mr. Moody. Ya, aku bercakap-cakap dengan Mr. Moody, melalui ingatanku.

Sweethouse, 18 Januari 2013

0 komentar:

Posting Komentar