“Hey, I met another you,
Mr. Moody!” tiba-tiba saja aku ingin berteriak. Tepat di lubang telingamu, Mr.
Moody.
“What do you mean?”
“Ah, ya. Aku bertemu
orang yang mirip denganmu. Apa yang kamu lakukan kepadaku. Kamu, Mr. Moody, dan
dia tentunya, adalah orang yang memilih meninggalkanku dengan alasan yang sama
denganmu. Dan dengan cara yang sama pula.”
“Siapa dia?”
“I told you, He is
another you.”
“Oke, Nona Manis,
ceritakan padaku.”
“Aku ga tahu, aku ga tau
harus cerita dari mana.”
“Kamu selalu seperti
ini, My Annoying Girl. Selalu bingung kalau mau bercerita padaku. Seolah ada
bagian-bagian dari hidupmu yang aku tak boleh tau.”
“Oke, aku akan
bercerita. Tapi sebelumnya aku katakan, ya, ada bagian-bagian dari hidupku yang
tak akan kuceritakan kepadamu.”
“Baiklah, segeralah
bercerita, sebelum aku berubah pikiran.”
“Begini, someday, after
you broke me up, leave me, tanpa aku tau kenapa, yang menyebabkan aku
melanjutkan hidupku saat itu dengan sejuta tanda tanya dan kemarahan yang ingin
aku tumpahkan, aku bertemu dengan seseorang, umm… lebih tepatnya dipertemukan
dengannya. Waktu itu aku hanya ingin bersenang-senang sih, dan baiklah, salah
seorang kawanku berbaik hati mengajakku bersenang-senang bersama teman-teman
yang sama sekali aku tak kenal. Bernyanyi. Kamu tahu, Mr Moody, bernyanyi bisa
membuatku lebih tenang, menghadapi semua kegilaan yang muncul karena kamu. Dan
kegilaan yang kamu munculkan saat itu, yang aku harap adalah kegilaan terakhir
dalam hidupku karena kamu, adalah kenyataan bahwa aku mencintaimu, dan kamu, ya
kamu Mr. Moody yang tersayang, meninggalkanku, meninggalkan sejuta janji yang
kamu ucapkan, tanpa satupun alasan yang kamu berikan.
“Kembali pada
pertemuanku dengan another you, Mr. Moody. Jadi singkat cerita, disanalah,
disebuah ruang karaoke, tempat aku menumpahkan kegilaan dengan bernyanyi, aku
bertemu dengannya. Another you. Karaoke berjalan lancar. Aku hanya mau
bernyanyi saja saat itu, bahkan ga inget siapa saja teman-teman kawanku itu,
yang tadi diperkenalkan kepadaku saat baru datang. Kamu tau beberapa yang sempet
aku nyanyikan? Jar of Hearts - Christina Perri, Untitled - Maliq n
D’essentials, dan lagu lain, lagu-lagu untukmu.
“Hanya begitu saja, Mr
Moody. Kami hanya bertemu begitu saja, dan segera kembali pulang ketika acara
bersenang-senang itu selesai.”
“Hanya begitu saja? Lalu
bagaimana kamu tau dia seperti aku?”
“Karena dia
menghubungiku setibanya aku dirumah. Malam hari. Ketika aku sedang berusaha
membuat diriku benar-benar melupakanmu.”
“Bagaimana dia bisa
menghubungimu kalau kalian tak pernah mengenal sebelumnya?”
“Kau lupa? Dia mengenal
kawanku. Kawanku memberikan pin Blackberry-ku padanya. Dengan seizinku.”
“Kau mengizinkannya? Kau
hanya butuh pelarian karena kamu patah hati bukan?”
“Patah hati? Pelarian? Kau
tau aku tak pernah melakukan itu. Menjadikan orang lain sebagai pelarian
bukanlah hal bijaksana. Aku mengizinkan kawanku memberitahukan pin BB ku karena
dia punya alasan.”
“Apa alasannya?”
“Kawanku mengatakan
bahwa dia, adalah salah satu teman terbaiknya, pintar, baik, bertanggung jawab,
recommended for me. Yah kamu tahu kan, aku perlu seseorang yang bisa membuat
mulutku diam, seseorang yang bisa membuat aku tunduk, ya, setidaknya dia harus
lebih dewasa dari aku.”
“Seperti aku?”
“Bukan, Mr. Moody. Bukan
sepertimu yang aku butuhkan. Bukan seseorang yang akan membiarkanku melakukan apapun
semauku, dan menyalahkanku ketika aku melakukan kesalahan.”
“Jadi meurutmu aku
seperti itu?”
“Iya. Nantilah kita
obrolkan lagi. Kamu masih mau mendengar ceritaku?”
“Iya. Silakan dilanjutkan.”
“Akhirnya kami ngobrol
banyak. Ternyata dia adalah sosok yang enak diajak bicara, lebih menyenangkan
ngobrol dengan dia daripada denganmu, Mr Moody. Karena dia bukan perayu dan
pengobral janji sepertimu.” Kataku sambil melirik Mr. Moody. Dia tampak sebal
sekali. “Mukamu kelihatan jelek kalau sedang sebal, Mr Moody-ku.”
“Kau mau cerita atau mengejekku,
Nona? Atau aku pergi saja biar kau tak perlu melihat muka sebalku?”
“Baiklah, baiklah. Aku lanjutkan.
Dia banyak bercerita tentang dirinya, juga bertanya tentang diriku. Kadang aku
juga menceritakan banyak hal tanpa ditanya, sih. You know me so well kan ya? I have
unstoppable mouth. Ya begitulah, obrolan kami sangat menyenangkan sampai hampir
2 minggu.
“Dia juga mengatakan niat
awalnya minta kenalan denganku. ‘Mungkin kita bisa cocok’ begitu katanya. Aku hanya
tertawa mendengarnya. Aku sudah cukup banyak berhubungan dengan pria, jadi aku
tahu terlalu cepat untuk bermain hati dengan seseorang yang baru saja ku kenal.
Kurasa, dia bisa jadi benar-benar serius jika dia mau. Hanya saja, ehm, satu
hal yang harus kau tahu, dia 5 bulan lebih muda dari aku. He is younger than
me, tapi dia bisa membuat aku kagum dengan kedewasaannya. Mungkin karena dia
banyak berhubungan dengan orang-orang yang lebih tua darinya, atau dia terlalu
banyak belajar, sehingga aku merasa seharusnya dia lebih tua dariku. Seharusnya
begitu. Aku berharap seperti itu saja keadaannya. Tapi mau bagaimana lagi, dia
terlahir setelah usiaku 5 bulan.”
“Jangan bilang, kau
mempermasalahkan usiamu dan keinginanmu untuk menikah? Ku kira kau sudah tak
ingin cepat menikah lagi, ku kira kau sudah paham kalau menikah itu……”
“Jangan disela, dong. Aku
belum selesai cerita. Kau ini sok tahu sekali.” Giliran aku yang pasang muka
sebal.
“Kau jelek sekali kalau
lagi sebel.”
“Mau lanjut ga
ceritanya?”
“Iya, mau. Aku diam,
deh.”
“Bukan aku yang
mempermasalahkannya, Mr. Moody yang terhormat. Tapi dia, dia yang terlalu
memikirkan itu. Wajar sih, karena
dulunya aku seperti itu. dan kebanyakan wanita seusiaku juga pasti mulai
berpikir tentang pernikahan. Padahal aku sudah bilang, ga usah terlalu
memikirkan hal itu. Jalani saja semuanya. Bukankah seperti itu akan lebih mudah
untuknya? Dan aku tentu saja.
“Tapi dia tak mau
mendengarku. Golongan darah B dan zodiak Aquarius, sama denganmu, Mr. Moody,
dan dia bertingkah sepertimu. Selalu mengambil tindakan sendiri, tanpa
bertanya, tanpa meminta pendapat orang lain, tanpa diskusi dengaku. Padahal jelas
itu menyangkut aku. Padahal hal itu sedikit banyak akan mempengaruhiku.
“Kamu tau, dia melakukan
hal yang sama denganmu. Ketika dia sedang galau, dia diam, bertingkah aneh, tak
menghubungiku sama sekali. Oh ya, kamu perlu tahu kalau aku sudah beberapa kali
bertemu dengan dia, berdua saja, sejak aku dikenalkan padanya. Ini juga yang
membuatnya berbeda denganmu. Karena kamu sedikitpun tak berusaha untuk
menemuiku. Terakhir kali kami bertemu, setelah acara pernikahan salah seorang
kenalan kami, kami hanya duduk-duduk di sebuah warung jus, dengan make up
kondangan lengkap dengan clutch bag yang kubawa. Berbicara, kami membicarakan
apa saja. Tentang dia yang pernah punya usaha es degan, tentang dia yang pernah
terlibat dalam acara tingkat nasional. Menyenangkan sekali mendengar
cerita-ceritanya. Dia orang hebat, dia akan menjadi orang yang lebih hebat
lagi. Aku tahu itu.
“Lalu obrolan berlanjut
lewat BBM, karena aku harus segera pulang. Dia bercerita tentang
rencana-rencananya, mimpi-mimpinya yang aku tahu akan dia wujudkan. Tentang
rencananya untuk melanjutkan sekolah sampai S3, tentang kapan dia akan merasa
siap untuk menikah. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. Tampak sekali
dari obrolannya, sekalipun hanya berupa tulisan, aku selalu tahu kalau
seseorang itu sedang senang, marah atau sedang tidak ingin diganggu.”
“Berarti kamu tahu
ketika aku sedang tidak ingin diganggu?”
“Iya.”
“Lalu kenapa kau masih
menggangguku padahal kamu tau aku sedang tak ingin diganggu?”
“Karena aku ingin kau
bercerita. Mungkin aku punya solusi. Lagi pula, kamu tak ingin diganggu karena
memikirkan aku kan? Bagaimana mungkin aku bisa diam?”
“Darimana kau tahu?”
“Aku tahu saja.”
“Hhmm… terserah kau lah.
Lanjutkan saja ceritamu.”
“Dia bertingkah aneh. Seperti
sengaja membuat aku kesal. Lalu diam, tak menghubungiku sama sekali selama
seminggu, kecuali saat dia mengajakku untuk bertemu. Kejadiannya mirip sekali
kejadian denganmu dulu, ya, Mr. Moody. Mirip sekali. Kamu diam, menghindari
obrolan denganku, sibuk dengan duniamu, menyakitiku dengan ketidakperdulianmu. Kamu
tahu, sangat menyakitkan jika itu dilakukan oleh orang yang sangat kamu cintai.”
“Maaf.”
“Aku sudah lupa. Tapi thanks
ya, karena kamu, aku belajar banyak. Aku belajar untuk membaca situasi. Belajar
untuk menjaga hati. Sehingga, ketika dia, Another You, melakukan hal yang sama
persis denganmu, aku sudah bisa membacanya, bisa menyiapkan diri untuk hal
terburuk yang mungkin dia katakan saat aku bertemu dengannya nanti. Karena dia
sangat mirip denganmu, Mr. Moody.
“Saat kami bertemu, di
sebuah kedai kopi, dia banyak meminta maaf. Karena, ternyata dia memilih untuk
berteman saja denganku. Seperti dugaanku, masalah usia, rencana-rencana, dan
ketakutan-ketakutannyalah yang menyebabkan dia memutuskan berteman saja
denganku. Dia terlalu serius memikirkan hal itu sendiri. Ga mau membaginya
denganku, juga dengan teman-temannya. Dia sendirian memutuskan hal itu, sama
sepertimu. Keputusan yang menyebalkan sebenarnya.
“Tapi, ada yang
membuatnya berbeda denganmu. Dia tidak membuatku membencinya seperti kau
membuatku membencimu. Dia adalah Gentleman pertama dalam hidupku. Pria yang
menghargaiku, memikirkan masa depanku, dan dia, berani berterus terang langsung
dihadapanku, menemuiku dan meminta maaf berulang kali atas apa yang dia
lakukan. Sesuat yang tak pernah kamu lakukan. Benar kan, Mr. Moody?”
“Mungkin. Tapi aku punya
alasan.”
“Simpan saja alasanmu. Aku
tidak membutuhkannya saat ini.”
“Baiklah. Lalu bagaimana
hubunganmu dengannya sekarang?”
“Baik. Dia kembali
menjadi teman ngobrol yang baik lagi, walau aku tak merasa butuh berbicara
banyak padanya lagi.”
“Kau patah hati, Nona
Manis?”
“Mungkin, tapi aku
berusaha melihat hal yang lucu disini.”
“Apa yang lucu?”
“kau tidak melihatnya? Coba
kau telaah lagi ceritaku, bagaimana mungkin aku bisa bertemu dua orang dengan
kelakuan dan keinginan yang sama, memperlakukanku dengan cara yang sama, dan
meninggalkanku dengan alasan yang hampir sama. Dan, kau dan dia muncul dalam
jeda yang singkat.”
“Hahaha. Ada-ada saja
kau ini. Baiklah, cerita sudah selesai. Aku pamit dulu. Bye Nona Manis, My
Annoying Girl.”
“Bye, Mr. Moody”
Lalu semua berubah
menjadi gelap. Kembali menjadi ruang-ruang penuh liku di oatakku. Kembali menjadi
ruang-ruang penuh ingatan yang bercampur aduk. Setelah selama satu jam
ruang-ruang ingatan itu kutekan ke tepi, untuk memberi ruang percakapanku
dengan Mr. Moody. Ya, aku bercakap-cakap dengan Mr. Moody, melalui ingatanku.
0 komentar:
Posting Komentar