“Gimana bisa, ya, ada seseorang yang begitu
menyebalkan. Begitu, ah, aku tak tahu bagaimana menggambarkannya. Terlalu
menyebalkan. Terlalu sakit untukku merasakan hal itu.” Aku berbisik. Berbisik
pada diriku sendiri. Karena aku tahu sekarang aku sedang sendiri, tak ada
seorangpun yang perduli padaku.
Aku berjalan. Dalam lorong gelap pikiranku.
Menahan semua sesak. Menahan semua kemarahan. Berharap bisa menumpahkan
kekesalanku. Berharap gelap bisa menelan amarahku. Sehingga semua rasa itu
hilang, meskipun itu berarti aku tak punya perasaan lagi. Mungkin akan jauh
lebih mudah jika aku tak punya perasaan. Aku tak perlu mencintai, tak perlu
menjadi gila karena ditinggalkan, tak perlu marah.
“Kamu kenapa?” seseorang menyapaku dari
lorong tergelap pikiranku. Sekali lagi. Kegelapan tak dapat menampakkan
sosoknya. Tapi suara itu, adalah suara yang selalu aku rindukan sekaligus suara
yang seharusnya membuatku semakin marah. Suara Mr. Moody ku. “Kamu kenapa, Nona
Manis?” sekali lagi suara itu terdengar.
Aku mengepalkan tangan. Aku marah. Suara yang
di dunia nyata telah mencabik-cabik ruang terhangat dari hatiku. Namun suara
itu pula yang selalu aku rindukan dalam pikiranku. Dan suara itu datang. Aku
bergeming. Tak mengatakan apapun. Tak juga menggerakkan badanku. Hanya tanganku
yang mengepal semakin erat.
“Kamu marah? Aku tahu kau sedang marah. Maka
berceritalah, Nona. Aku disini. Mendengarkanmu.”
“Iya. Aku sedang marah.” Aku masih berdiri.
Tak bergerak.
“Apa yang membuatmu marah?”
“Kamu, Mr. Moody. Kamu yang membuatku marah.
Bukan kamu yang disini, yang ada dalam pikiranku. Tapi kamu yang ada didunia
nyata. Kamu disana, seperti biasa, moody dan menyebalkan.”
“Apa yang sudah aku lakukan di dunia nyata?”
“Mengabaikanku. Untuk kesekian kalinya kau
mengabaikanku. Aku ga tahu apa salahku. Apa masalahmu sampai kamu tega
mengabaikanku? Kamu tau rasanya? sakit sekali, Mr. Moody yang terhormat.”
“Tapi kamu juga mengabaikanku, Nona. Saat aku
berharap bisa kembali padamu.”
“Kamu yang mulai, bukan? Kamu yang
memulainya.”
“Iya aku tahu. Aku bersalah saat itu. Aku
yang membiarkanmu pergi. Tapi aku benar-benar ingin kembali saat aku
memintanya. Lalu, apa lagi yang aku lakukan sekarang? Yang membuatmu begitu
marah padaku. Aku yang di dunia nyata.”
Kamu. Aah, aku tak pernah mengira aku bisa
bertemu sosok dirimu yang begitu dingin. Sepuluh tahun aku menunggumu, bukan
untuk bertemu dirimu yang begitu dingin. Bukan dirimu yang sekarang ini yang
aku harapkan dalam penantianku. Tapi ternyata apa yang aku dapatkan tak sesuai
denga harapanku. Aku menemukan dirimu yang begitu….. susah ditebak, dingin, dan
menyebalkan.
“Dan hari ini, aku lagi-lagi harus menemukan
dirimu yang tak aku harapkan. Sekali lagi, kau megabaikanku. Mungkin memang aku
salah telah memutuskan untuk melupakanmu, yang aku tahu itu tidaklah benar, dan
akan menyakiti diriku sendiri. Tapi tidakkah kau ingin berusaha
mempertahankanku? Meyakinkanku agar aku mau kembali padamu? Mengapa kau tak
melakukan itu, Mr. Moody? Kau melepaskanku begitu saja, lalu mengabaikanku. Itu
menyebalkan. Bukan, itu menyakitkan. Sangat menyakitkan.” Aku mulai
menyandarkan tubuhku pada dinding yang tak terlihat di sebelah kananku.
Memejamkan mata dan menghela napas berat. Masih di dalam lorong gelap
pikiranku. Dan suara Mr. Moody yang menemaniku dari sudut yang entah dimana
dalam lorong itu.
“Maaf. Kupikir itu yang terbaik untuk kita.
Percayalah, aku juga sakit telah membiarkanmu pergi. Kuharap itulah yang kau
inginkan, agar kau bisa melupakanku lebih cepat.”
“Iya, aku berharap itulah yang aku inginkan.
Melupakanmu adalah cara menghindari rasa sakit. Tapi itu tak berlangsung lama.”
Aku tersenyum. Berusaha menertawakan diriku sendiri.
“Dan sekarang kau mengingat diriku lagi?”
“Ya. Aku mengingatmu. Aku tak pernah
melupakanmu, Mr. Moody. Aku hanya berusaha mengabaikan semua perasaan itu.”
“Kau membohongi dirimu sendiri, Nona.”
“Tidak, karena aku bertemu sosokmu yang lain,
yang ternyata sama saja denganmu. Melepaskanku begitu saja.”
“Kamu berharap dia menggantikanku?”
“Iya.”
“Kau tahu, aku tak tergantikan.”
“Entahlah….”
“Kau mencoba menghubungiku?”
“Iya.”
“Dan aku tak menghiraukanmu?”
“Iya. Aku mencoba, dan kau mengabaikanku
seperti biasa. Itu sangat mengganggu, Mr. Moody. Apakah itu berarti kau
membenciku?”
“Tidak. Sepertinya tak mungkin aku
membencimu. Aku hanya tak mau menyakitimu, dan menyakiti diriku sendiri. Itu
saja yang bisa ku katakan, Nona. Selanjutnya, biar waktu yang menjawabnya.”
“Kalau aku mau kau menjelaskan padaku
sekarang, apa kau akan menjelaskannya?”
“Kau ini tetap saja, tidak mau bersabar.
Bersabarlah, Nona. Bukankah Tuhanmu sudah berjanji akan bersama orang-orang
yang bersabar? Tuhanmu tidak akan meninggalkanmu, Dia tidak akan membiarkanmu
celaka. Teruslah berdoa, Nona. Kebaikan akan menghampirimu pada waktunya nanti.
Entah kebaikan itu adalah bersamaku, atau bersama orang lain yang lebih baik
dariku.”
“Jadi, kau tak mau menjelaskannya?”
“Bersabarlah, Nona. Nanti kau akan
memahaminya. Aku akan ada di lorong ini, mendengarkanmu saat kau merasa dunia
tak berpihak padamu. Sekarang berjalanlah ke arah cahaya. Cahaya itu akan
membuatmu lebih nyaman. Cahaya itu akan menemanimu.”
“Apa aku masih bisa menemuimu, Mr. Moody?
Apakah aku bisa mencurahkan perasaanku padamu seperti ini?”
“Aku selalu ada untukmu, Nona Manisku.
Menemanimu, berusaha sebisa mungkin menguatkanmu.”
“Baiklah. Aku akan pergi menuju cahaya itu.
Berjanjilah kau selalu disini pada saat-saat tergelapku.”
“Iya, aku berjanji.”
“Bye, Mr. Moody.” Lalu aku berjalan menuju
cahaya. Cahaya yang menenangkan. Cahaya itu adalah janji kebahagiaan.
My Room,
23 Januari 2013
0 komentar:
Posting Komentar