Click Here For Free Blog Templates!!!
Blogaholic Designs

Pages

Rabu, 23 Januari 2013

Mr. Moody and me : Janji Kebahagiaan


“Gimana bisa, ya, ada seseorang yang begitu menyebalkan. Begitu, ah, aku tak tahu bagaimana menggambarkannya. Terlalu menyebalkan. Terlalu sakit untukku merasakan hal itu.” Aku berbisik. Berbisik pada diriku sendiri. Karena aku tahu sekarang aku sedang sendiri, tak ada seorangpun yang perduli padaku.
Aku berjalan. Dalam lorong gelap pikiranku. Menahan semua sesak. Menahan semua kemarahan. Berharap bisa menumpahkan kekesalanku. Berharap gelap bisa menelan amarahku. Sehingga semua rasa itu hilang, meskipun itu berarti aku tak punya perasaan lagi. Mungkin akan jauh lebih mudah jika aku tak punya perasaan. Aku tak perlu mencintai, tak perlu menjadi gila karena ditinggalkan, tak perlu marah.
“Kamu kenapa?” seseorang menyapaku dari lorong tergelap pikiranku. Sekali lagi. Kegelapan tak dapat menampakkan sosoknya. Tapi suara itu, adalah suara yang selalu aku rindukan sekaligus suara yang seharusnya membuatku semakin marah. Suara Mr. Moody ku. “Kamu kenapa, Nona Manis?” sekali lagi suara itu terdengar.
Aku mengepalkan tangan. Aku marah. Suara yang di dunia nyata telah mencabik-cabik ruang terhangat dari hatiku. Namun suara itu pula yang selalu aku rindukan dalam pikiranku. Dan suara itu datang. Aku bergeming. Tak mengatakan apapun. Tak juga menggerakkan badanku. Hanya tanganku yang mengepal semakin erat.
“Kamu marah? Aku tahu kau sedang marah. Maka berceritalah, Nona. Aku disini. Mendengarkanmu.”
“Iya. Aku sedang marah.” Aku masih berdiri. Tak bergerak.
“Apa yang membuatmu marah?”
“Kamu, Mr. Moody. Kamu yang membuatku marah. Bukan kamu yang disini, yang ada dalam pikiranku. Tapi kamu yang ada didunia nyata. Kamu disana, seperti biasa, moody dan menyebalkan.”
“Apa yang sudah aku lakukan di dunia nyata?”
“Mengabaikanku. Untuk kesekian kalinya kau mengabaikanku. Aku ga tahu apa salahku. Apa masalahmu sampai kamu tega mengabaikanku? Kamu tau rasanya? sakit sekali, Mr. Moody yang terhormat.”
“Tapi kamu juga mengabaikanku, Nona. Saat aku berharap bisa kembali padamu.”
“Kamu yang mulai, bukan? Kamu yang memulainya.”
“Iya aku tahu. Aku bersalah saat itu. Aku yang membiarkanmu pergi. Tapi aku benar-benar ingin kembali saat aku memintanya. Lalu, apa lagi yang aku lakukan sekarang? Yang membuatmu begitu marah padaku. Aku yang di dunia nyata.”
Kamu. Aah, aku tak pernah mengira aku bisa bertemu sosok dirimu yang begitu dingin. Sepuluh tahun aku menunggumu, bukan untuk bertemu dirimu yang begitu dingin. Bukan dirimu yang sekarang ini yang aku harapkan dalam penantianku. Tapi ternyata apa yang aku dapatkan tak sesuai denga harapanku. Aku menemukan dirimu yang begitu….. susah ditebak, dingin, dan menyebalkan.
“Dan hari ini, aku lagi-lagi harus menemukan dirimu yang tak aku harapkan. Sekali lagi, kau megabaikanku. Mungkin memang aku salah telah memutuskan untuk melupakanmu, yang aku tahu itu tidaklah benar, dan akan menyakiti diriku sendiri. Tapi tidakkah kau ingin berusaha mempertahankanku? Meyakinkanku agar aku mau kembali padamu? Mengapa kau tak melakukan itu, Mr. Moody? Kau melepaskanku begitu saja, lalu mengabaikanku. Itu menyebalkan. Bukan, itu menyakitkan. Sangat menyakitkan.” Aku mulai menyandarkan tubuhku pada dinding yang tak terlihat di sebelah kananku. Memejamkan mata dan menghela napas berat. Masih di dalam lorong gelap pikiranku. Dan suara Mr. Moody yang menemaniku dari sudut yang entah dimana dalam lorong itu.
“Maaf. Kupikir itu yang terbaik untuk kita. Percayalah, aku juga sakit telah membiarkanmu pergi. Kuharap itulah yang kau inginkan, agar kau bisa melupakanku lebih cepat.”
“Iya, aku berharap itulah yang aku inginkan. Melupakanmu adalah cara menghindari rasa sakit. Tapi itu tak berlangsung lama.” Aku tersenyum. Berusaha menertawakan diriku sendiri.
“Dan sekarang kau mengingat diriku lagi?”
“Ya. Aku mengingatmu. Aku tak pernah melupakanmu, Mr. Moody. Aku hanya berusaha mengabaikan semua perasaan itu.”
“Kau membohongi dirimu sendiri, Nona.”
“Tidak, karena aku bertemu sosokmu yang lain, yang ternyata sama saja denganmu. Melepaskanku begitu saja.”
“Kamu berharap dia menggantikanku?”
“Iya.”
“Kau tahu, aku tak tergantikan.”
“Entahlah….”
“Kau mencoba menghubungiku?”
“Iya.”
“Dan aku tak menghiraukanmu?”
“Iya. Aku mencoba, dan kau mengabaikanku seperti biasa. Itu sangat mengganggu, Mr. Moody. Apakah itu berarti kau membenciku?”
“Tidak. Sepertinya tak mungkin aku membencimu. Aku hanya tak mau menyakitimu, dan menyakiti diriku sendiri. Itu saja yang bisa ku katakan, Nona. Selanjutnya, biar waktu yang menjawabnya.”
“Kalau aku mau kau menjelaskan padaku sekarang, apa kau akan menjelaskannya?”
“Kau ini tetap saja, tidak mau bersabar. Bersabarlah, Nona. Bukankah Tuhanmu sudah berjanji akan bersama orang-orang yang bersabar? Tuhanmu tidak akan meninggalkanmu, Dia tidak akan membiarkanmu celaka. Teruslah berdoa, Nona. Kebaikan akan menghampirimu pada waktunya nanti. Entah kebaikan itu adalah bersamaku, atau bersama orang lain yang lebih baik dariku.”
“Jadi, kau tak mau menjelaskannya?”
“Bersabarlah, Nona. Nanti kau akan memahaminya. Aku akan ada di lorong ini, mendengarkanmu saat kau merasa dunia tak berpihak padamu. Sekarang berjalanlah ke arah cahaya. Cahaya itu akan membuatmu lebih nyaman. Cahaya itu akan menemanimu.”
“Apa aku masih bisa menemuimu, Mr. Moody? Apakah aku bisa mencurahkan perasaanku padamu seperti ini?”
“Aku selalu ada untukmu, Nona Manisku. Menemanimu, berusaha sebisa mungkin menguatkanmu.”
“Baiklah. Aku akan pergi menuju cahaya itu. Berjanjilah kau selalu disini pada saat-saat tergelapku.”
“Iya, aku berjanji.”
“Bye, Mr. Moody.” Lalu aku berjalan menuju cahaya. Cahaya yang menenangkan. Cahaya itu adalah janji kebahagiaan.

My Room, 23 Januari 2013

0 komentar:

Posting Komentar