Click Here For Free Blog Templates!!!
Blogaholic Designs

Pages

Rabu, 23 Januari 2013

Mr. Moody and me : Janji Kebahagiaan


“Gimana bisa, ya, ada seseorang yang begitu menyebalkan. Begitu, ah, aku tak tahu bagaimana menggambarkannya. Terlalu menyebalkan. Terlalu sakit untukku merasakan hal itu.” Aku berbisik. Berbisik pada diriku sendiri. Karena aku tahu sekarang aku sedang sendiri, tak ada seorangpun yang perduli padaku.
Aku berjalan. Dalam lorong gelap pikiranku. Menahan semua sesak. Menahan semua kemarahan. Berharap bisa menumpahkan kekesalanku. Berharap gelap bisa menelan amarahku. Sehingga semua rasa itu hilang, meskipun itu berarti aku tak punya perasaan lagi. Mungkin akan jauh lebih mudah jika aku tak punya perasaan. Aku tak perlu mencintai, tak perlu menjadi gila karena ditinggalkan, tak perlu marah.
“Kamu kenapa?” seseorang menyapaku dari lorong tergelap pikiranku. Sekali lagi. Kegelapan tak dapat menampakkan sosoknya. Tapi suara itu, adalah suara yang selalu aku rindukan sekaligus suara yang seharusnya membuatku semakin marah. Suara Mr. Moody ku. “Kamu kenapa, Nona Manis?” sekali lagi suara itu terdengar.
Aku mengepalkan tangan. Aku marah. Suara yang di dunia nyata telah mencabik-cabik ruang terhangat dari hatiku. Namun suara itu pula yang selalu aku rindukan dalam pikiranku. Dan suara itu datang. Aku bergeming. Tak mengatakan apapun. Tak juga menggerakkan badanku. Hanya tanganku yang mengepal semakin erat.
“Kamu marah? Aku tahu kau sedang marah. Maka berceritalah, Nona. Aku disini. Mendengarkanmu.”
“Iya. Aku sedang marah.” Aku masih berdiri. Tak bergerak.
“Apa yang membuatmu marah?”
“Kamu, Mr. Moody. Kamu yang membuatku marah. Bukan kamu yang disini, yang ada dalam pikiranku. Tapi kamu yang ada didunia nyata. Kamu disana, seperti biasa, moody dan menyebalkan.”
“Apa yang sudah aku lakukan di dunia nyata?”
“Mengabaikanku. Untuk kesekian kalinya kau mengabaikanku. Aku ga tahu apa salahku. Apa masalahmu sampai kamu tega mengabaikanku? Kamu tau rasanya? sakit sekali, Mr. Moody yang terhormat.”
“Tapi kamu juga mengabaikanku, Nona. Saat aku berharap bisa kembali padamu.”
“Kamu yang mulai, bukan? Kamu yang memulainya.”
“Iya aku tahu. Aku bersalah saat itu. Aku yang membiarkanmu pergi. Tapi aku benar-benar ingin kembali saat aku memintanya. Lalu, apa lagi yang aku lakukan sekarang? Yang membuatmu begitu marah padaku. Aku yang di dunia nyata.”
Kamu. Aah, aku tak pernah mengira aku bisa bertemu sosok dirimu yang begitu dingin. Sepuluh tahun aku menunggumu, bukan untuk bertemu dirimu yang begitu dingin. Bukan dirimu yang sekarang ini yang aku harapkan dalam penantianku. Tapi ternyata apa yang aku dapatkan tak sesuai denga harapanku. Aku menemukan dirimu yang begitu….. susah ditebak, dingin, dan menyebalkan.
“Dan hari ini, aku lagi-lagi harus menemukan dirimu yang tak aku harapkan. Sekali lagi, kau megabaikanku. Mungkin memang aku salah telah memutuskan untuk melupakanmu, yang aku tahu itu tidaklah benar, dan akan menyakiti diriku sendiri. Tapi tidakkah kau ingin berusaha mempertahankanku? Meyakinkanku agar aku mau kembali padamu? Mengapa kau tak melakukan itu, Mr. Moody? Kau melepaskanku begitu saja, lalu mengabaikanku. Itu menyebalkan. Bukan, itu menyakitkan. Sangat menyakitkan.” Aku mulai menyandarkan tubuhku pada dinding yang tak terlihat di sebelah kananku. Memejamkan mata dan menghela napas berat. Masih di dalam lorong gelap pikiranku. Dan suara Mr. Moody yang menemaniku dari sudut yang entah dimana dalam lorong itu.
“Maaf. Kupikir itu yang terbaik untuk kita. Percayalah, aku juga sakit telah membiarkanmu pergi. Kuharap itulah yang kau inginkan, agar kau bisa melupakanku lebih cepat.”
“Iya, aku berharap itulah yang aku inginkan. Melupakanmu adalah cara menghindari rasa sakit. Tapi itu tak berlangsung lama.” Aku tersenyum. Berusaha menertawakan diriku sendiri.
“Dan sekarang kau mengingat diriku lagi?”
“Ya. Aku mengingatmu. Aku tak pernah melupakanmu, Mr. Moody. Aku hanya berusaha mengabaikan semua perasaan itu.”
“Kau membohongi dirimu sendiri, Nona.”
“Tidak, karena aku bertemu sosokmu yang lain, yang ternyata sama saja denganmu. Melepaskanku begitu saja.”
“Kamu berharap dia menggantikanku?”
“Iya.”
“Kau tahu, aku tak tergantikan.”
“Entahlah….”
“Kau mencoba menghubungiku?”
“Iya.”
“Dan aku tak menghiraukanmu?”
“Iya. Aku mencoba, dan kau mengabaikanku seperti biasa. Itu sangat mengganggu, Mr. Moody. Apakah itu berarti kau membenciku?”
“Tidak. Sepertinya tak mungkin aku membencimu. Aku hanya tak mau menyakitimu, dan menyakiti diriku sendiri. Itu saja yang bisa ku katakan, Nona. Selanjutnya, biar waktu yang menjawabnya.”
“Kalau aku mau kau menjelaskan padaku sekarang, apa kau akan menjelaskannya?”
“Kau ini tetap saja, tidak mau bersabar. Bersabarlah, Nona. Bukankah Tuhanmu sudah berjanji akan bersama orang-orang yang bersabar? Tuhanmu tidak akan meninggalkanmu, Dia tidak akan membiarkanmu celaka. Teruslah berdoa, Nona. Kebaikan akan menghampirimu pada waktunya nanti. Entah kebaikan itu adalah bersamaku, atau bersama orang lain yang lebih baik dariku.”
“Jadi, kau tak mau menjelaskannya?”
“Bersabarlah, Nona. Nanti kau akan memahaminya. Aku akan ada di lorong ini, mendengarkanmu saat kau merasa dunia tak berpihak padamu. Sekarang berjalanlah ke arah cahaya. Cahaya itu akan membuatmu lebih nyaman. Cahaya itu akan menemanimu.”
“Apa aku masih bisa menemuimu, Mr. Moody? Apakah aku bisa mencurahkan perasaanku padamu seperti ini?”
“Aku selalu ada untukmu, Nona Manisku. Menemanimu, berusaha sebisa mungkin menguatkanmu.”
“Baiklah. Aku akan pergi menuju cahaya itu. Berjanjilah kau selalu disini pada saat-saat tergelapku.”
“Iya, aku berjanji.”
“Bye, Mr. Moody.” Lalu aku berjalan menuju cahaya. Cahaya yang menenangkan. Cahaya itu adalah janji kebahagiaan.

My Room, 23 Januari 2013
Jumat, 18 Januari 2013

Mr. Moody and me : I Met Another You


“Hey, I met another you, Mr. Moody!” tiba-tiba saja aku ingin berteriak. Tepat di lubang telingamu, Mr. Moody.
“What do you mean?”
“Ah, ya. Aku bertemu orang yang mirip denganmu. Apa yang kamu lakukan kepadaku. Kamu, Mr. Moody, dan dia tentunya, adalah orang yang memilih meninggalkanku dengan alasan yang sama denganmu. Dan dengan cara yang sama pula.”
“Siapa dia?”
“I told you, He is another you.”
“Oke, Nona Manis, ceritakan padaku.”
“Aku ga tahu, aku ga tau harus cerita dari mana.”
“Kamu selalu seperti ini, My Annoying Girl. Selalu bingung kalau mau bercerita padaku. Seolah ada bagian-bagian dari hidupmu yang aku tak boleh tau.”
“Oke, aku akan bercerita. Tapi sebelumnya aku katakan, ya, ada bagian-bagian dari hidupku yang tak akan kuceritakan kepadamu.”
“Baiklah, segeralah bercerita, sebelum aku berubah pikiran.”
“Begini, someday, after you broke me up, leave me, tanpa aku tau kenapa, yang menyebabkan aku melanjutkan hidupku saat itu dengan sejuta tanda tanya dan kemarahan yang ingin aku tumpahkan, aku bertemu dengan seseorang, umm… lebih tepatnya dipertemukan dengannya. Waktu itu aku hanya ingin bersenang-senang sih, dan baiklah, salah seorang kawanku berbaik hati mengajakku bersenang-senang bersama teman-teman yang sama sekali aku tak kenal. Bernyanyi. Kamu tahu, Mr Moody, bernyanyi bisa membuatku lebih tenang, menghadapi semua kegilaan yang muncul karena kamu. Dan kegilaan yang kamu munculkan saat itu, yang aku harap adalah kegilaan terakhir dalam hidupku karena kamu, adalah kenyataan bahwa aku mencintaimu, dan kamu, ya kamu Mr. Moody yang tersayang, meninggalkanku, meninggalkan sejuta janji yang kamu ucapkan, tanpa satupun alasan yang kamu berikan.
“Kembali pada pertemuanku dengan another you, Mr. Moody. Jadi singkat cerita, disanalah, disebuah ruang karaoke, tempat aku menumpahkan kegilaan dengan bernyanyi, aku bertemu dengannya. Another you. Karaoke berjalan lancar. Aku hanya mau bernyanyi saja saat itu, bahkan ga inget siapa saja teman-teman kawanku itu, yang tadi diperkenalkan kepadaku saat baru datang. Kamu tau beberapa yang sempet aku nyanyikan? Jar of Hearts - Christina Perri, Untitled - Maliq n D’essentials, dan lagu lain, lagu-lagu untukmu.
“Hanya begitu saja, Mr Moody. Kami hanya bertemu begitu saja, dan segera kembali pulang ketika acara bersenang-senang itu selesai.”
“Hanya begitu saja? Lalu bagaimana kamu tau dia seperti aku?”
“Karena dia menghubungiku setibanya aku dirumah. Malam hari. Ketika aku sedang berusaha membuat diriku benar-benar melupakanmu.”
“Bagaimana dia bisa menghubungimu kalau kalian tak pernah mengenal sebelumnya?”
“Kau lupa? Dia mengenal kawanku. Kawanku memberikan pin Blackberry-ku padanya. Dengan seizinku.”
“Kau mengizinkannya? Kau hanya butuh pelarian karena kamu patah hati bukan?”
“Patah hati? Pelarian? Kau tau aku tak pernah melakukan itu. Menjadikan orang lain sebagai pelarian bukanlah hal bijaksana. Aku mengizinkan kawanku memberitahukan pin BB ku karena dia punya alasan.”
“Apa alasannya?”
“Kawanku mengatakan bahwa dia, adalah salah satu teman terbaiknya, pintar, baik, bertanggung jawab, recommended for me. Yah kamu tahu kan, aku perlu seseorang yang bisa membuat mulutku diam, seseorang yang bisa membuat aku tunduk, ya, setidaknya dia harus lebih dewasa dari aku.”
“Seperti aku?”
“Bukan, Mr. Moody. Bukan sepertimu yang aku butuhkan. Bukan seseorang yang akan membiarkanku melakukan apapun semauku, dan menyalahkanku ketika aku melakukan kesalahan.”
“Jadi meurutmu aku seperti itu?”
“Iya. Nantilah kita obrolkan lagi. Kamu masih mau mendengar ceritaku?”
“Iya. Silakan dilanjutkan.”
“Akhirnya kami ngobrol banyak. Ternyata dia adalah sosok yang enak diajak bicara, lebih menyenangkan ngobrol dengan dia daripada denganmu, Mr Moody. Karena dia bukan perayu dan pengobral janji sepertimu.” Kataku sambil melirik Mr. Moody. Dia tampak sebal sekali. “Mukamu kelihatan jelek kalau sedang sebal, Mr Moody-ku.”
“Kau mau cerita atau mengejekku, Nona? Atau aku pergi saja biar kau tak perlu melihat muka sebalku?”
“Baiklah, baiklah. Aku lanjutkan. Dia banyak bercerita tentang dirinya, juga bertanya tentang diriku. Kadang aku juga menceritakan banyak hal tanpa ditanya, sih. You know me so well kan ya? I have unstoppable mouth. Ya begitulah, obrolan kami sangat menyenangkan sampai hampir 2 minggu.
“Dia juga mengatakan niat awalnya minta kenalan denganku. ‘Mungkin kita bisa cocok’ begitu katanya. Aku hanya tertawa mendengarnya. Aku sudah cukup banyak berhubungan dengan pria, jadi aku tahu terlalu cepat untuk bermain hati dengan seseorang yang baru saja ku kenal. Kurasa, dia bisa jadi benar-benar serius jika dia mau. Hanya saja, ehm, satu hal yang harus kau tahu, dia 5 bulan lebih muda dari aku. He is younger than me, tapi dia bisa membuat aku kagum dengan kedewasaannya. Mungkin karena dia banyak berhubungan dengan orang-orang yang lebih tua darinya, atau dia terlalu banyak belajar, sehingga aku merasa seharusnya dia lebih tua dariku. Seharusnya begitu. Aku berharap seperti itu saja keadaannya. Tapi mau bagaimana lagi, dia terlahir setelah usiaku 5 bulan.”
“Jangan bilang, kau mempermasalahkan usiamu dan keinginanmu untuk menikah? Ku kira kau sudah tak ingin cepat menikah lagi, ku kira kau sudah paham kalau menikah itu……”
“Jangan disela, dong. Aku belum selesai cerita. Kau ini sok tahu sekali.” Giliran aku yang pasang muka sebal.
“Kau jelek sekali kalau lagi sebel.”
“Mau lanjut ga ceritanya?”
“Iya, mau. Aku diam, deh.”
“Bukan aku yang mempermasalahkannya, Mr. Moody yang terhormat. Tapi dia, dia yang terlalu memikirkan itu.  Wajar sih, karena dulunya aku seperti itu. dan kebanyakan wanita seusiaku juga pasti mulai berpikir tentang pernikahan. Padahal aku sudah bilang, ga usah terlalu memikirkan hal itu. Jalani saja semuanya. Bukankah seperti itu akan lebih mudah untuknya? Dan aku tentu saja.
“Tapi dia tak mau mendengarku. Golongan darah B dan zodiak Aquarius, sama denganmu, Mr. Moody, dan dia bertingkah sepertimu. Selalu mengambil tindakan sendiri, tanpa bertanya, tanpa meminta pendapat orang lain, tanpa diskusi dengaku. Padahal jelas itu menyangkut aku. Padahal hal itu sedikit banyak akan mempengaruhiku.
“Kamu tau, dia melakukan hal yang sama denganmu. Ketika dia sedang galau, dia diam, bertingkah aneh, tak menghubungiku sama sekali. Oh ya, kamu perlu tahu kalau aku sudah beberapa kali bertemu dengan dia, berdua saja, sejak aku dikenalkan padanya. Ini juga yang membuatnya berbeda denganmu. Karena kamu sedikitpun tak berusaha untuk menemuiku. Terakhir kali kami bertemu, setelah acara pernikahan salah seorang kenalan kami, kami hanya duduk-duduk di sebuah warung jus, dengan make up kondangan lengkap dengan clutch bag yang kubawa. Berbicara, kami membicarakan apa saja. Tentang dia yang pernah punya usaha es degan, tentang dia yang pernah terlibat dalam acara tingkat nasional. Menyenangkan sekali mendengar cerita-ceritanya. Dia orang hebat, dia akan menjadi orang yang lebih hebat lagi. Aku tahu itu.
“Lalu obrolan berlanjut lewat BBM, karena aku harus segera pulang. Dia bercerita tentang rencana-rencananya, mimpi-mimpinya yang aku tahu akan dia wujudkan. Tentang rencananya untuk melanjutkan sekolah sampai S3, tentang kapan dia akan merasa siap untuk menikah. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. Tampak sekali dari obrolannya, sekalipun hanya berupa tulisan, aku selalu tahu kalau seseorang itu sedang senang, marah atau sedang tidak ingin diganggu.”
“Berarti kamu tahu ketika aku sedang tidak ingin diganggu?”
“Iya.”
“Lalu kenapa kau masih menggangguku padahal kamu tau aku sedang tak ingin diganggu?”
“Karena aku ingin kau bercerita. Mungkin aku punya solusi. Lagi pula, kamu tak ingin diganggu karena memikirkan aku kan? Bagaimana mungkin aku bisa diam?”
“Darimana kau tahu?”
“Aku tahu saja.”
“Hhmm… terserah kau lah. Lanjutkan saja ceritamu.”
“Dia bertingkah aneh. Seperti sengaja membuat aku kesal. Lalu diam, tak menghubungiku sama sekali selama seminggu, kecuali saat dia mengajakku untuk bertemu. Kejadiannya mirip sekali kejadian denganmu dulu, ya, Mr. Moody. Mirip sekali. Kamu diam, menghindari obrolan denganku, sibuk dengan duniamu, menyakitiku dengan ketidakperdulianmu. Kamu tahu, sangat menyakitkan jika itu dilakukan oleh orang yang sangat kamu cintai.”
“Maaf.”
“Aku sudah lupa. Tapi thanks ya, karena kamu, aku belajar banyak. Aku belajar untuk membaca situasi. Belajar untuk menjaga hati. Sehingga, ketika dia, Another You, melakukan hal yang sama persis denganmu, aku sudah bisa membacanya, bisa menyiapkan diri untuk hal terburuk yang mungkin dia katakan saat aku bertemu dengannya nanti. Karena dia sangat mirip denganmu, Mr. Moody.
“Saat kami bertemu, di sebuah kedai kopi, dia banyak meminta maaf. Karena, ternyata dia memilih untuk berteman saja denganku. Seperti dugaanku, masalah usia, rencana-rencana, dan ketakutan-ketakutannyalah yang menyebabkan dia memutuskan berteman saja denganku. Dia terlalu serius memikirkan hal itu sendiri. Ga mau membaginya denganku, juga dengan teman-temannya. Dia sendirian memutuskan hal itu, sama sepertimu. Keputusan yang menyebalkan sebenarnya.
“Tapi, ada yang membuatnya berbeda denganmu. Dia tidak membuatku membencinya seperti kau membuatku membencimu. Dia adalah Gentleman pertama dalam hidupku. Pria yang menghargaiku, memikirkan masa depanku, dan dia, berani berterus terang langsung dihadapanku, menemuiku dan meminta maaf berulang kali atas apa yang dia lakukan. Sesuat yang tak pernah kamu lakukan. Benar kan, Mr. Moody?”
“Mungkin. Tapi aku punya alasan.”
“Simpan saja alasanmu. Aku tidak membutuhkannya saat ini.”
“Baiklah. Lalu bagaimana hubunganmu dengannya sekarang?”
“Baik. Dia kembali menjadi teman ngobrol yang baik lagi, walau aku tak merasa butuh berbicara banyak padanya lagi.”
“Kau patah hati, Nona Manis?”
“Mungkin, tapi aku berusaha melihat hal yang lucu disini.”
“Apa yang lucu?”
“kau tidak melihatnya? Coba kau telaah lagi ceritaku, bagaimana mungkin aku bisa bertemu dua orang dengan kelakuan dan keinginan yang sama, memperlakukanku dengan cara yang sama, dan meninggalkanku dengan alasan yang hampir sama. Dan, kau dan dia muncul dalam jeda yang singkat.”
“Hahaha. Ada-ada saja kau ini. Baiklah, cerita sudah selesai. Aku pamit dulu. Bye Nona Manis, My Annoying Girl.”
“Bye, Mr. Moody”
Lalu semua berubah menjadi gelap. Kembali menjadi ruang-ruang penuh liku di oatakku. Kembali menjadi ruang-ruang penuh ingatan yang bercampur aduk. Setelah selama satu jam ruang-ruang ingatan itu kutekan ke tepi, untuk memberi ruang percakapanku dengan Mr. Moody. Ya, aku bercakap-cakap dengan Mr. Moody, melalui ingatanku.

Sweethouse, 18 Januari 2013
Jumat, 11 Januari 2013

Do’a


Pernah ga kalian ga percaya sama doa-doa? I was. Aku pernah sekali dalam hidupku, berhenti berdoa, berhenti meminta pada Tuhan. Ya, aku Islam, aku tetep sholat, tetep melakukan kewajibanku, tapi hanya itu yang aku lakukan. Tidak lebih. Merasa tidak perlu meminta lebih lagi, memohon lebih lagi untuk mencapai keinginanku.
Kalian mungkin bingung, kalo km percaya Tuhan itu ada, seharusnya kamu juga percaya bahwa Tuhan itu bisa segalanya. Ya, aku tahu Tuhan bisa melakukan apapun. Tapi kalo Tuhan bisa melakukan apapun, kenapa Tuhan ga mengabulkan permintaanku? Padahal seharusnya mudah bagi Tuhan untuk melakukan itu. Kira-kira begitulah pikiranku saat itu.
Lalu permintaan apa yang ga bisa dikabulkan Tuhan versiku? Okelah, aku jujur aja sama kalian, kalo aku pengen banget nikah tahun 2012. Tepatnya 12 Desember 2012. Tanggal paling cantik menurutku. Aku pengen banget hari itu jadi hari paling bahagia dalam hidupku. Menikah sama orang yang tepat, wow, itu adalah pencapaian luar biasa dari targetku tahun itu.
What? Nikah jadi target? Jangan kaget, ah. Iya, nikah pas tanggal paling cantik itu adalah target paling luar biasa selama 5 tahun. Bayangkan kalo target besarmu selama 5 tahun terakhir gagal. Gagal total sodara-sodara. Padahal aku udah milih-milih gaun pengantin, udah nyari-nyari tempat make up pengantin yg oke, udah nanya-nanya persiapan apa yang harus disiapkan saat mau nikah, jd begitu ada pangeran ganteng yang datang ngelamar aku, bisa langsung tancap gas. Hehehe….
Gila ya, iya, aku ngaku kalo aku emang gila. Gila karena mimpi gila dan salah menafsirkan buku-buku motivasi gila yang sempet aku baca. Ada buku yang entah yang mana yang kubaca saat itu, yang mengatakan kalo mau punya pasangan, silakan bayangkan bahwa anda sudah punya pasangan, dan silakan mempersiapkan kehadirannya, walaupun sebenernya belom ada tuh jodohnya. Dan hal bodoh yang aku lakukan adalah nurut aja apa kata buku motivasi itu tanpa ditelaah dulu, kira-kira jadi gila ga kalo aku nuruti buku itu. Dan ternyata bener kan, aku jadi terobsesi sama mimpi itu. Sampe-sampe aku berencana mau buat list undangan dan biaya yang bakal aku keluarkan. *silakan ngakak dan ngatain aku gila*
Oke, kita kembali ke pembahasan awal, gimana bisa obsesi itu bisa meruntuhkan kepercayaanku terhadap doa-doa. Gini, pernah ga kamu pengen sesuatu setengah mati, selama 5 tahun, dan ketika saatnya sudah hampir tiba, segalanya begitu menyebalkan. Dan kamu harus menghadapi hal menyebalkan. Karena hampir semua orang yang follow twittermu, orang yang jadi friends di facebookmu, dan yang ada di kontak bbm mu, tahu kalo kamu teramat sangat terobsesi dengan tanggal itu, dan kamu gagal mencapainya. Baah! Pengen ngamuk? Iya. Pengen ngilang dari dunia (ngilang beda sama mati ya)? Banget. Malu, jengkel dan haloo,, kemana itu doa-doa yang selalu aku panjatkan? Kemana perginyaa??? Gitu kali ya protes dari hatiku yang terdalam.
Sejak saat itu, aku berhenti berdoa. Percuma kan susah-susah berdoa kalo ga terkabul. Dan aku menjalani hidupku selama berhari-hari dengan skeptik, ditambah lagi, my beloved boy, pergi gitu aja ninggalin aku, tanpa sebuah alasanpun yang ditinggalkan untukku. Galau to the max, banget ga kira-kira.
Lalu aku berusaha untuk berdamai dengan kegagalan dan ketololan. Aku mengundurkan niatku menikah jadi sampe taun 2013. Ya, nikah jadi resolusiku tahun 2013. Sampe pada akhirnya, ketika perayaan tahun baru ala aku dan teman-temanku, dengan truth or dare dan permainan uno sampe dini hari, pas ditanya apa resolusiku tahun 2013, dan jawabanku tetep masih mau menikah, salah seorang teman dengan sangat tidak sopan dan menohok bilang, “resolusi kok ga pernah berubah, neng?” dan kamu tahu rasanya ditusuk pake pisau ga kentara tepat di pusat jantungmu, kayak gitu kali ya rasanya. Nancep banget. Dan akhirnya, setelah obrolan berakhir dan aku harus kembali ke rumah yang kucintai, aku mulai berpikir.
Apa bener nikah bisa dijadiin resolusi? Resolusi itu apa sih? Sesuatu yang bisa kita usahakan sendiri sampe tercapai kan? Menurutku gitu sih. Tapi apa nikah ini bisa diusahakan sendiri? Kecuali kamu mau nikah sama dirimu sendiri atau bayanganmu di cermin. Ga bisa, nikah bukan hanya tentang bagaimana kamu mencapainya. Nikah terlalu banyak melibatkan pihak lain yang mana tidak bisa kita kontrol. Kita ga bisa mengontrol pasangan kita, sama ga mungkinnya dengan mengontrol orang tua dan calon mertua kita. Belom lagi kalo harus berurusan dengan hal-hal prinsip seperti apa yang kamu inginkan untuk mengisi pernikahan itu. masing-masing orang beda, dan harus dibicarakan lebih lanjut memang.
Terlalu banyak hal-hal yang diluar kuasa kita. Banyak sekali sehingga aku menyadari bahwa menikah bukanlah suatu target. Menikah adalah masalah apakah aku dan entah siapa yang akan menjadi jodohku nanti siap menghadapi konsekuensinya.  Menikah sangat beresiko ketika kita tidak siap menghadapinya. Bayangkan ketika dalam pernikahan tidak ada yang mau mengalah, tidak ada kompromi. Itu akan menjadikan pernikahanmu layaknya neraka. Aku bukannya mau nakut-nakuti ya, aku hanya mau mengingatkan supaya siapapun yang membaca tulisan ini dan sedang menghadapi kegalauan seperti yang pernah aku rasakan, lebih baik bersiap-siap. Berfokuslah pada bagaimana kamu akan menjalani pernikahan, bukan pada pernikahan seperti apa yang kalian inginkan. Ngerti kan maksudku? Jadi belajarlah jadi istri yang baik, bukan hanya belajar masak, tapi belajarlah memahami orang lain selain dirimu. Karena kamu dan suamimu nantinya, aku yakin tidak selalu sejalan. Betul nggak?
Thanks buat Mr. Moody ku, yang gembul itu, yang ga pernah berhenti buat ngingetin aku agar tidak terlalu ngotot sama rencana-rencanaku, sampai aku paham bahwa aku belom siap nikah, Mister. You’re right! Quote dari Mr. Moody, “Jadi orang yang sabar, ikhlas, dan cobalah berdamai dengan dirimu sendiri. Supaya hidupmu berjalan lebih mudah.”
Dan sekarang, aku mulai berdoa lagi, untuk mimpi-mimpiku, untuk banyak hal yang aku yakin akan terwujud. Aku mulai percaya lagi dengan doa-doa. Karena sebenernya doa yang kita panjatkan pasti akan naik ke Atas, ke langit, berproses, dan menanti waktu yang tepat untuk turun kembali ke bumi, mewujudkan mimpi-mimpi yang kita titipkan pada doa-doa itu. lalu bagaimana dengan doa-doa yang tidak terwujud? Percayalah, Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk kita, dan yang kita butuhkan. Percayalah bahwa doa-doa kita akan kembali kepada kita dalam bentuk terbaik dan dalam bentuk yang paling kita butuhkan.
Yak, jadi karena saya belom siap nikah, mari kita lanjutkan mimpi-mimpi yang lain, mimpi-mimpi yang sempat tertunda, dan pastikan, mulut dan hati kita tidak pernah berhenti berdoa, juga tangan kita, jangan sampai berhenti berusaha. Sekian.

Sweethouse, 11-01-13