Click Here For Free Blog Templates!!!
Blogaholic Designs

Pages

Rabu, 06 Februari 2013

Mr. Moody and me : Telepon Singkat


“Kau ada di sini Mr. Moody?” aku berjalan kembali. Melewati lorong gelap pikiranku. Seperti biasa. Ketika kemarahan menghampiriku. Tempat ini dan Mr. Moody selalu bisa menenangkanku.
“Iya, aku di sini. Aku sudah berjanji padamu, bukan?”
“Apa kau tahu aku akan datang malam ini?” aku memutar tubuhku, mencari-cari sumber suara. Kegelapan sempurna menyembunyikan sosok yang selalu menemaniku disaat-saat tergelapku. Setidaknya dia pernah berjanji seperti itu.
“Iya, aku tahu.” Suara itu semakin mendekat. Seolah dia tahu dimana bisa menemukanku di ruangan gelap ini.
“Bagaimana kau tahu?” Aku berhenti mencarinya, lalu meraba-raba kegelapan mencari sandaran. Menyandarkan punggungku yang lelah menahan begitu banyak kekesalan.
“Karena aku merasakan kemarahanmu, kekesalanmu. Hal-hal yang melukaimu selalu membuat dadaku terasa tercabik. Aku tahu aku di luar sana sedang menyakitimu lagi.”
“Kau benar. Dirimu yang lain telah menyakitiku lagi. Mengabaikanku. Tak lagi mengharapkanku.”
“Apa yang dia lakukan?”
“Aku merindukannya, aku merindukan dirimu di dunia nyata. Aku ingin mendengar suaranya, bercerita lagi dengannya. Memulai lagi dari awal, memulai lagi mencintainya tanpa kebencian. Tapi dia, sosokmu di dunia nyata tak pernah mau tahu. Dan terus saja menyakitiku dengan pengabaian yang selalu dia lakukan ketika aku mencoba lagi memulai hubungan baik kami.
“Aku tak tau. Mengapa dia begitu menyebalkan. Dia jauh berbeda denganmu. Kamu selalu mendengarkanku, dia tidak. Dia tidak pernah mau tau apa yang aku rasakan. Aku lelah Mr. Moody. Lelah sekali merasakan bahwa apa yang aku harapkan, untuk kesekian kali harus hancur. Dihancurkan oleh hal menyesakkan seperti ini.”
“Aku tak tau harus mengatakan apa, Nona.”
“Kau tak harus mengatakan apapun jika kau tak ingin, Mr. Moody.  Kau hanya perlu mendengarkanku, menemaniku berkeluh kesah di ruang gelap ini.”
“Maafkan aku, Nona. Sungguh maafkan aku. Aku tahu itu menyesakkan. Aku tahu itu sangat menyakitkan untukmu. Tapi aku tak dapat melakukan apapun selain mendengarkanmu. Aku memang bagian dirinya, tapi kami tidaklah sama.”
“Sudah kubilang, kau hanya perlu mendengarkanku.”
“Baiklah, berceritalah lagi.”
“Baiklah, aku akan bercerita lagi. Aku merindukannya. Teramat merindukannya. Rindu yang membuatku menghubunginya lagi, dan lagi. Aku berusaha berbincang dengannya. Mencoba membuatnya berbicara lagi denganku. Aku memintanya meneleponku.” Aku memerosotkan tubuhku, duduk terkulai di lantai batu yang dingin. Berusaha menahan tangis yang menyesakkan dadaku.
“Dan dia meneleponmu?”
Aku mengangguk. “Iya. Dengan suara yang bukan miliknya. Aku tahu itu dia, tapi yang meneleponku adalah dia yang lain, dia yang dingin dan tak bersahabat. Dia yang selalu menoreh luka. Dia yang….” Aku tercekat, menahan tangis membuat dadaku semakin sesak.
“Menangislah, Nona. Menangislah kalo itu bisa membuatmu lega.”
Tangisku semakin deras. Aku terisak, bahuku naik turun. “Dia tidak menginginkanku lagi.” Aku menggigit bibirku hingga perih. Aku tak dapat menghentikan tangis ini. Air mata mengalir dengan deras. Semakin deras ketika aku kembali teringat betapa hal itu sangat menyakitkan.
“Maafkan aku.” Suara Mr. Moody terdengar begitu pelan. “Aku tak pernah ingin kau merasakan hal ini. Aku tak pernah ingin dirimu tersakiti. Apalagi oleh dia. Dimana aku adalah bagian dari dirinya yang hidup di dalam benakmu.” Suaranya tampak sama menderitanya sepertiku. Hanya saja aku tak dapat melihat wajahnya.
“Tapi kau memiliki suara seperti dirinya yang hangat. Dia yang kucintai.”
“Tapi aku hanyalah banyangan dirinya yang berada dalam benakmu, Nona. Aku adalah dirinya seperti yang kau inginkan. Aku bukan dirinya yang sesungguhnya.”
“Mengapa aku tak bisa melihatmu, Mr. Moody-ku? Aku ingin sekali melihatmu.” Aku menghapus air mata dipipiku. Mr. Moody benar, menangis bisa membuatku lega. Membuang semua kekesalanku. Mr. Moody begitu berbeda dengan dirinya di dunia nyata. Di sana, dia tidak pernah bisa memahami saat aku menangis. Baginya, tangisanku sangat mengganggunya.
“Apa ada bedanya bisa melihatku atau tidak, Nona? Mungkin lebih baik kau tak perlu melihatku. Cukuplah suaraku yang terus berbincang menemanimu setiap kali kau membutuhkanku.” Lama sekali, Mr. Moody baru menjawab.
“Tapi aku ingin melihatmu, Mr. Moody.”
“Kau ini tetap saja keras kepala dan tidak mau menyerah, Nona. Tapi maaf, ada hal-hal tertentu yang mungkin tak bisa dan tak akan kuberikan padaku. Cukupkan dirimu berpuas dengan apa yang aku berikan. Kau butuh teman berkeluh kesah, bukan? Aku disini, mendengarkanmu saat kau berkeluh kesah. Kau juga butuh orang akan menemanimu saat kau ingin menangis, bukan? Maka aku disini menemanimu. Kalau boleh tahu, apa yang dia katakan yang menyakitimu, Nona?”
“Suaranya yang dingin, pertanyaan basa basi, dia terganggu dengan kehadiranku. Dia tidak menginginkanku dalam hidupnya lagi.”
“Apa perkataannya menyakitimu?”
“Tidak. Perkataannya tidak menyakitiku. Tapi cara dia berbicara denganku yang membuatku merasa terbuang. Cuma sebentar, lalu dia pamit dan meneruskan pekerjaannya. Hanya itu, dan hal itu cukup untuk menghancurkanku lagi. Telepon singkat darinya yang menghancurkan hatiku lagi.”
“Aku tak tahu harus berkata apa, Nona. Aku juga tak tahu mengapa dia melakukan itu.”
“Lalu apa yang harus aku lakukan, Mr. Moody? Apa yang harus aku lakukan? Melupakannya bukanlah pilihan yang mudah, kau pasti tahu itu. Lalu apa yang bisa aku lakukan untuk membangun hatiku yang porak poranda ini?”
“Bersabarlah, Nona. Sekali lagi aku ingatkan, kau punya Tuhan yang bisa menolongmu. Berdoalah kepada-Nya.”
“Selalu. Aku selalu berdoa untukku, juga untuknya. Aku berdoa untuk kebahagiaanku dan juga kebahagiaannya. Mungkin bersama dengannya tampaknya sulit sekali terwujud. Jika aku tak bisa bersama dengannya, setidaknya kami masih bisa bahagia dengan pilihan kita masing-masing. Sekalipun akan sangat menyakitkan.”
“Jangan pernah berhenti berdoa, Nona. Jangan pernah berhenti. Aku yakin Tuhanmu sedang mempersiapkan kehidupan yang terbaik untukmu. Menyiapkan kebahagiaan untuk dirimu. Maka tersenyumlah, Nona. Selalu tersenyumlah.” Tanpa sadar aku tersenyum mendengar perkataannya. “Kau tampak cantik sekali jika tersenyum seperti itu, Nona.”
“Kau bohong, kan? Kau hanya berusaha untuk menghiburku. Kau tak bisa melihatku dalam ruangan gelap ini.”
“Tidak, Nona. Aku benar-benar mengatakannya dan aku… aku bisa melihatmu dengan jelas. Ini tempatku tinggal, Nona. Aku bisa melihat dengan jelas di sini.”
“Kau pasti bercanda. Tapi terima kasih atas pujiannya, Mr. Moody-ku. Kau selalu bisa diandalkan.” Senyumku semakin lebar.
“Sama-sama, Nona Manis. Sekarang kembalilah kesana, ke lorong yang lebih terang, kau akan merasa lebih nyaman disana.”
“Kau tak ikut kesana?”
“Tidak. Tempatku adalah di sini. Aku akan selalu disini menemanimu disaat-saat tergelapmu.”
“Bye.”
“Bye, Nona Manis-ku. Berbahagialah.”
Aku kembali melangkah menuju lorong yang lebih terang. Tempat cahaya menyinari. Tempat cahaya menghangatkan dinginnya hati yang menangis. Perlahan cahaya menelanku dalam kehangatan. Aku merasa lebih bahagia. Lalu aku membuka mataku dan tersenyum.

Surabaya, 28 Januari 2013