Kemudian cahaya mata
itu meredup, setelah melalui perjuangan yang teramat panjang, dia merasa tak
ada lagi daya untuk dia bangkit. Semua cahaya memdadak memudar dari matanya suara-suara
berubah jadi lirih, bayangan-bayangan menjadi tanpa warna, abu-abu. Akankah semua
berakhir?
Lirih dia
mendengar suara tangisan disekitarnya, suara-suara yang mengisyaratkan kekhawatiran,
wajah-wajah muram yang tergambar samar, lalu lalang orang yang tampak tergesa-gesa.
Tapi dimana? Dimana suara tangis yang teramat dia rindukan itu? Dimana suara
tangis yang deminya wanita ini siap menukar dengan apapun, termasuk nyawanya? Mengapa
tak ada suara tangis bayi? Bayi selama ini dia perjuangakan setengah mati?
Lalu semuanya
menjadi gelap sempurna.
###
Seorang wanita,
Lastri namanya, menunggu antrian di puskesmas desa bersama ibu-ibu yang tengah
hamil. Usia nya sudah tak muda lagi, 42 tahun, dan ini adalah kehamilannya yang
keempat. Anak pertamanya, Tina, sudah berusia 17 tahun, sudah duduk di bangku
SMA. Anak keduanya, Tanti, 15 tahun, kini sedang mempersiapkan ujian kelulusan
SMP nya, sedangkan si bungsu Tari yang berusia 12 tahun, baru saja dia
berbangga dengan seragam SMP barunya. Lastri menunggu panggilan dari perawat
puskesmas dengan sabar. Semoga hari ini, Bu Bidan tidak menakut-nakutinya lagi
dengan cerita kehamilan beresiko.
Ini adalah
kehamilannya yang keempat. Pada kunjungannya ke bidan sebelumnya, dan
sebelumnya lagi, dia sudah diberi tahu Bu Bidan berulang kali jika kehamilannya
kali ini beresiko. Selain usianya yang kini sudah menginjak 42 tahun, dia juda
diidentifikasi menderita hipertensi atau yang menurut Bu Bidan biasa disebut
tekanan darah tinggi. Menurut Bu Bidan, kehamilan dengan hipertensi dapat
mengganggu kinerja ginjal dan hati. Entahlah aku tak tahu bagaimana hubungannya
orang hamil dengan penyakit-penyakit itu. orang bodoh yang tak pernah makan
bangku sekolah sepertiku hanya bisa mengangguk saja ketika Bu Bidan
menjelaskan.
“Bagaimana Bu Bidan, apakah anak dalam
kandungan saya sehat?” tanya Lastri pada satu-satunya bidan yang terpercaya di
kampungnya.
“Sejak awal saya
sudah mengatakan kepada anda, Bu Lastri, bahwa kehamilan anda ini beresiko. Usia
anda yang sudah 42 tahun bukanlah usai yang aman untuk melahirkan. Ditambah lagi
dengan hipertensi yang Ibu alami. Kemungkinan terganggunya sistem kerja ginjal
Bu Lastri masih ada. Hal ini biasa disebut Preeklamsia. Banyak kasus seperti ini
terjadi dan menyebakan kebocoran protein melalui ginjal sehingga urin iIbu
mengandung protein positif. Pada kasus pereklamsia berat, bayi harus segera
dilahirkan dengan operasi. Saya khawatir jika sampai hal itu terjadi Ibu harus
memilih mana yang harus selamat, Ibu atau janin dalam kandungan Ibu Lastri.”
Suara Bu Bidan
tampak seperti dengung lebah di kepala Lastri, sama sekali dia tak dapat
mencerna apa yang di jelaskan Bu bidan. Yang dia tahu, setiap orang melahirkan
pasti mempertaruhkan nyawa. Dia pernah mengalaminya tiga kali sebelumnya dan
semuanya berjalan dengan baik. Tapi yang keempat ini mengapa begitu
menyulitkan?
Lastri hanya
mengangguk setelah mendengar penjelasan Bu Bidan, lalu menerima resep yang
disodorkan Bidan berbadan subur itu untuk ditebus di tempat penukaran resep. Segera
dia beranjak meninggalkan Ruang Ibu dan Anak di Puskesmas kampung ini. Pening kepalanya
mendengar uraian panjang dari Bu Bidan tadi.
Dalam perjalanan
pulang kata-kata Bu Bidan terus membayangi kepalanya. Ibu atau anaknya yang
harus diselamatkan. Kandungannya sudah menginjak bulan keempat. Kata orang-orang,
empat bulan adalah waktunya seorang anak diberikan nyawa. Itu berarti, membuang
anak ini sama saja dengan membunuh anak sendiri. Dan hanya orang gila yang tega
membunuh darah daging sendiri, sekalipun ia masih dalam kandungan. Lastri
mengelus pelan perutnya. Anak laki-laki. Itulah doa yang selalu dipanjatkannya
setiap hari. Seperti keinginan Anton, suaminya.
Suaminya begitu
mengidam-idamkan anak laki-laki. Biar ada yang meneruskan garis keturunan
keluarga, begitu katanya. Namun hingga kelahiran anaknya yang ketiga, Tari, anak
perempuan, itulah yang dititipkan Sang Maha Pencipta untuk mereka. Tampak jelas
raut kecewa Anton ketika dia tahu buah hatinya yang ketiga juga perempuan,
seperti Tina dan Tanti. Harapannya untuk memiliki anak laki-laki seolah
tersedot ke lembah hitam pekat. Seperti tak ungkin lagi menemui titik terang. Dan
kehamilan Lastri yang keempat ini, kembali memunculkan sinar harapan di wajah
Anton, harapan akan hadirnya seorang anak laki-laki.
Mengingat suaminya
yang begitu mengharapkan keturunan laki-laki membuat Lastri semakin bertekat
untuk menyelamatkan bayinya. Apapun resikonya, sekalipun dia harus menukarkan
nyawanya untuk anak, yang dia harapkan, laki-laki dalam kandungannya ini. Sekalipun
Bu Bidan mengatakan bahwa kehamilannya beresiko dan dia terancam tak dapat
melihat anak-anaknya tumbuh dewasa, tak mengapa, asal anaknya selamat.
###
Sebait demi
sebait doa selalu Lastri panjatkan untuk kelahiran anak laki-laki yang sehat
setiap hari. Air mata demi air mata terus mengalir untuk anaknya kali ini. Dan dukungan
suami dan ketiga anaknya yang selalu ada di sampingnya, menemani doa-doanya,
mengingatkan untuk selalu meminum obat dan vitamin yang diberikan Bu Bidan. Tak
terasa usia kandungannya semakin mendekati akhir. Sembilan bulan sudah. Bu
Bidan saat kunjungannya yang terakhir kemarin mengatakan sebentar lagi bayinya
lahir, tinggal menghitung hari saja. Semakin bercampurlah perasaan Lastri,
perasaan bahagia karena perjuangannya yang tak mudah untuk menjaga anak dalam
kandungannya akan segera berakhir, namun akhir yang seperti apa yang akan
terjadi?
Lastri semakin
menenggelamkan diri pada doa-doa agar dirinya diberi kesempatan untuk menemani
langkah anak-anaknya menuju gerbang kedewasaan. Doa demi doa dia panjatkan agar
dia masih diberi umur panjang.
“Allah Maha
Pencipta, Allah yang Maha Hidup,
berikanlah kehidupan untukku dan anakku.”
Dan doa-doa
selalu diiringi uraian air mata, air mata seorang ibu untuk anaknya. Dan tiba-tiba
ditengah lantunan doa-doa, saat tangannya masih menengadah, perut Lastri terasa
teramat sakit. Dia mengelus pelan perutnya ketika sakit itu mereda. Waktu masih
pukul 4 pagi. Sebentar lagi subuh. Dilihatnya Anton tertidur pulas di ranjang
mereka. Lastri segera bangkit dari simpuhnya meminta perlindungan pada Sang
Kuasa, dia memandang wajah tenang suaminya. Dan berbisik lirih.
“Mungkin aku tak
bisa melihatmu tertidur sepulas ini, Mas. Tidak jika Allah berkehendak.”
Lastri segera
berbaring di ranjang, di sisi suaminya. Sambil terus menahan sakit yang semakin
lama semakin sering muncul. Lastri mengerang, berteriak pelan. Dia berusaha
mengguncang tubuh ssuaminya yang masih terlelap. Iba dia melihat suaminya yang
masih terlelap itu tergagap bangun, tapi rasa sakit yang luar biasa ini tak
dapat ditahannya lagi. Anton langsung paham jika istrinya akan segera
melahirkan. Segera dia meraih hp yang tergeletak di nakas kamar mereka,
menelepon Bu Bidan, itulah yang terpikir di kepalanya saat itu.
“Bu Bidan
menyuruh kita segera ke Puskesmas. Dia sedang bergegas kesana.”
Suara anton yang
panik sambil memasukkan pakaian istri dan calon anaknya sekenanya kedalam tas
menyebabkan ketiga anaknya bangun. Melihat kepanikan orang tuanya mereka hanya
terdiam dipintu kamar dan mengangguk ketika ayahnya berpamitan. Segera dia
memangil becak yang kebetulan melintas di pagi-pagi buta itu. Dengan becak
itulah Lastri dan Anton bergegas ke Puskesmas.
Saat mencapai
Puskesmas, Lastri semakin berteriak kesakitan, menggenggam tangan Anton dengan
kuat. Anton hanya bisa terus memanjatkan doa agar istri dan anaknya selamat. Lastri
terus berteriak kesakitan, keringat mengalir deras di dahinya. Darah juga terus
mengalir di sela-sela kakinya. Terlampau banyak untuk orang yang melahurkan. Anton
semakin komat kamit menyebut nama-Nya berkali-kali sambil terus berderai air
mata. Tak terkira sakit yang dirasakan istrinya saat ini. “Allah, jangan
panggil istriku, kumohon. Kuatkan dia, kuatkan dia.” Dua jam sudah proses
persalinan. Lastri sudah hampir pingsan ketika anak itu lahir, segera perawat
membawanya untuk dibersihkan.
Kemudian cahaya mata
itu meredup, setelah melalui perjuangan yang teramat panjang, dia merasa tak
ada lagi daya untuk dia bangkit. Semua cahaya memdadak memudar dari matanya suara-suara
berubah jadi lirih, bayangan-bayangan menjadi tanpa warna, abu-abu. Akankah semua
berakhir?
Lirih dia
mendengar suara tangisan disekitarnya, suara-suara yang mengisyaratkan kekhawatiran,
wajah-wajah muram yang tergambar samar, lalu lalang orang yang tampak tergesa-gesa.
Tapi dimana? Dimana suara tangis yang teramat dia rindukan itu? Dimana suara
tangis yang deminya wanita ini siap menukar dengan apapun, termasuk nyawanya? Mengapa
tak ada suara tangis bayi? Bayi selama ini dia perjuangakan setengah mati?
Lalu semuanya
menjadi gelap sempurna.
###
Pelan Lastri
membuka matanya. Air mata menetes di pipinya yang sudah keriput. Berulang kali
dia menceritakan perjuangan hidup dan matinya ini pada cucu-cucunya yang tak
pernah bosan mendengar kisah ini. Kisah perjuangan hidup dan matinya untuk
Tino, anak laki-laki kebanggannya dan Anton.
Kediri, 2012
0 komentar:
Posting Komentar