Click Here For Free Blog Templates!!!
Blogaholic Designs

Pages

Jumat, 07 September 2012

Cerpen: Anak Laki-laki Lastri


Kemudian cahaya mata itu meredup, setelah melalui perjuangan yang teramat panjang, dia merasa tak ada lagi daya untuk dia bangkit. Semua cahaya memdadak memudar dari matanya suara-suara berubah jadi lirih, bayangan-bayangan menjadi tanpa warna, abu-abu. Akankah semua berakhir?
Lirih dia mendengar suara tangisan disekitarnya, suara-suara yang mengisyaratkan kekhawatiran, wajah-wajah muram yang tergambar samar, lalu lalang orang yang tampak tergesa-gesa. Tapi dimana? Dimana suara tangis yang teramat dia rindukan itu? Dimana suara tangis yang deminya wanita ini siap menukar dengan apapun, termasuk nyawanya? Mengapa tak ada suara tangis bayi? Bayi selama ini dia perjuangakan setengah mati?
Lalu semuanya menjadi gelap sempurna.
###
Seorang wanita, Lastri namanya, menunggu antrian di puskesmas desa bersama ibu-ibu yang tengah hamil. Usia nya sudah tak muda lagi, 42 tahun, dan ini adalah kehamilannya yang keempat. Anak pertamanya, Tina, sudah berusia 17 tahun, sudah duduk di bangku SMA. Anak keduanya, Tanti, 15 tahun, kini sedang mempersiapkan ujian kelulusan SMP nya, sedangkan si bungsu Tari yang berusia 12 tahun, baru saja dia berbangga dengan seragam SMP barunya. Lastri menunggu panggilan dari perawat puskesmas dengan sabar. Semoga hari ini, Bu Bidan tidak menakut-nakutinya lagi dengan cerita kehamilan beresiko.
Ini adalah kehamilannya yang keempat. Pada kunjungannya ke bidan sebelumnya, dan sebelumnya lagi, dia sudah diberi tahu Bu Bidan berulang kali jika kehamilannya kali ini beresiko. Selain usianya yang kini sudah menginjak 42 tahun, dia juda diidentifikasi menderita hipertensi atau yang menurut Bu Bidan biasa disebut tekanan darah tinggi. Menurut Bu Bidan, kehamilan dengan hipertensi dapat mengganggu kinerja ginjal dan hati. Entahlah aku tak tahu bagaimana hubungannya orang hamil dengan penyakit-penyakit itu. orang bodoh yang tak pernah makan bangku sekolah sepertiku hanya bisa mengangguk saja ketika Bu Bidan menjelaskan.
 “Bagaimana Bu Bidan, apakah anak dalam kandungan saya sehat?” tanya Lastri pada satu-satunya bidan yang terpercaya di kampungnya.
“Sejak awal saya sudah mengatakan kepada anda, Bu Lastri, bahwa kehamilan anda ini beresiko. Usia anda yang sudah 42 tahun bukanlah usai yang aman untuk melahirkan. Ditambah lagi dengan hipertensi yang Ibu alami. Kemungkinan terganggunya sistem kerja ginjal Bu Lastri masih ada. Hal ini biasa disebut Preeklamsia. Banyak kasus seperti ini terjadi dan menyebakan kebocoran protein melalui ginjal sehingga urin iIbu mengandung protein positif. Pada kasus pereklamsia berat, bayi harus segera dilahirkan dengan operasi. Saya khawatir jika sampai hal itu terjadi Ibu harus memilih mana yang harus selamat, Ibu atau janin dalam kandungan Ibu Lastri.”
Suara Bu Bidan tampak seperti dengung lebah di kepala Lastri, sama sekali dia tak dapat mencerna apa yang di jelaskan Bu bidan. Yang dia tahu, setiap orang melahirkan pasti mempertaruhkan nyawa. Dia pernah mengalaminya tiga kali sebelumnya dan semuanya berjalan dengan baik. Tapi yang keempat ini mengapa begitu menyulitkan?
Lastri hanya mengangguk setelah mendengar penjelasan Bu Bidan, lalu menerima resep yang disodorkan Bidan berbadan subur itu untuk ditebus di tempat penukaran resep. Segera dia beranjak meninggalkan Ruang Ibu dan Anak di Puskesmas kampung ini. Pening kepalanya mendengar uraian panjang dari Bu Bidan tadi.
Dalam perjalanan pulang kata-kata Bu Bidan terus membayangi kepalanya. Ibu atau anaknya yang harus diselamatkan. Kandungannya sudah menginjak bulan keempat. Kata orang-orang, empat bulan adalah waktunya seorang anak diberikan nyawa. Itu berarti, membuang anak ini sama saja dengan membunuh anak sendiri. Dan hanya orang gila yang tega membunuh darah daging sendiri, sekalipun ia masih dalam kandungan. Lastri mengelus pelan perutnya. Anak laki-laki. Itulah doa yang selalu dipanjatkannya setiap hari. Seperti keinginan Anton, suaminya.
Suaminya begitu mengidam-idamkan anak laki-laki. Biar ada yang meneruskan garis keturunan keluarga, begitu katanya. Namun hingga kelahiran anaknya yang ketiga, Tari, anak perempuan, itulah yang dititipkan Sang Maha Pencipta untuk mereka. Tampak jelas raut kecewa Anton ketika dia tahu buah hatinya yang ketiga juga perempuan, seperti Tina dan Tanti. Harapannya untuk memiliki anak laki-laki seolah tersedot ke lembah hitam pekat. Seperti tak ungkin lagi menemui titik terang. Dan kehamilan Lastri yang keempat ini, kembali memunculkan sinar harapan di wajah Anton, harapan akan hadirnya seorang anak laki-laki.
Mengingat suaminya yang begitu mengharapkan keturunan laki-laki membuat Lastri semakin bertekat untuk menyelamatkan bayinya. Apapun resikonya, sekalipun dia harus menukarkan nyawanya untuk anak, yang dia harapkan, laki-laki dalam kandungannya ini. Sekalipun Bu Bidan mengatakan bahwa kehamilannya beresiko dan dia terancam tak dapat melihat anak-anaknya tumbuh dewasa, tak mengapa, asal anaknya selamat.
###
Sebait demi sebait doa selalu Lastri panjatkan untuk kelahiran anak laki-laki yang sehat setiap hari. Air mata demi air mata terus mengalir untuk anaknya kali ini. Dan dukungan suami dan ketiga anaknya yang selalu ada di sampingnya, menemani doa-doanya, mengingatkan untuk selalu meminum obat dan vitamin yang diberikan Bu Bidan. Tak terasa usia kandungannya semakin mendekati akhir. Sembilan bulan sudah. Bu Bidan saat kunjungannya yang terakhir kemarin mengatakan sebentar lagi bayinya lahir, tinggal menghitung hari saja. Semakin bercampurlah perasaan Lastri, perasaan bahagia karena perjuangannya yang tak mudah untuk menjaga anak dalam kandungannya akan segera berakhir, namun akhir yang seperti apa yang akan terjadi?
Lastri semakin menenggelamkan diri pada doa-doa agar dirinya diberi kesempatan untuk menemani langkah anak-anaknya menuju gerbang kedewasaan. Doa demi doa dia panjatkan agar dia masih diberi umur panjang.
“Allah Maha Pencipta, Allah yang  Maha Hidup, berikanlah kehidupan untukku dan anakku.”
Dan doa-doa selalu diiringi uraian air mata, air mata seorang ibu untuk anaknya. Dan tiba-tiba ditengah lantunan doa-doa, saat tangannya masih menengadah, perut Lastri terasa teramat sakit. Dia mengelus pelan perutnya ketika sakit itu mereda. Waktu masih pukul 4 pagi. Sebentar lagi subuh. Dilihatnya Anton tertidur pulas di ranjang mereka. Lastri segera bangkit dari simpuhnya meminta perlindungan pada Sang Kuasa, dia memandang wajah tenang suaminya. Dan berbisik lirih.
“Mungkin aku tak bisa melihatmu tertidur sepulas ini, Mas. Tidak jika Allah berkehendak.”
Lastri segera berbaring di ranjang, di sisi suaminya. Sambil terus menahan sakit yang semakin lama semakin sering muncul. Lastri mengerang, berteriak pelan. Dia berusaha mengguncang tubuh ssuaminya yang masih terlelap. Iba dia melihat suaminya yang masih terlelap itu tergagap bangun, tapi rasa sakit yang luar biasa ini tak dapat ditahannya lagi. Anton langsung paham jika istrinya akan segera melahirkan. Segera dia meraih hp yang tergeletak di nakas kamar mereka, menelepon Bu Bidan, itulah yang terpikir di kepalanya saat itu.
“Bu Bidan menyuruh kita segera ke Puskesmas. Dia sedang bergegas kesana.”
Suara anton yang panik sambil memasukkan pakaian istri dan calon anaknya sekenanya kedalam tas menyebabkan ketiga anaknya bangun. Melihat kepanikan orang tuanya mereka hanya terdiam dipintu kamar dan mengangguk ketika ayahnya berpamitan. Segera dia memangil becak yang kebetulan melintas di pagi-pagi buta itu. Dengan becak itulah Lastri dan Anton bergegas ke Puskesmas.
Saat mencapai Puskesmas, Lastri semakin berteriak kesakitan, menggenggam tangan Anton dengan kuat. Anton hanya bisa terus memanjatkan doa agar istri dan anaknya selamat. Lastri terus berteriak kesakitan, keringat mengalir deras di dahinya. Darah juga terus mengalir di sela-sela kakinya. Terlampau banyak untuk orang yang melahurkan. Anton semakin komat kamit menyebut nama-Nya berkali-kali sambil terus berderai air mata. Tak terkira sakit yang dirasakan istrinya saat ini. “Allah, jangan panggil istriku, kumohon. Kuatkan dia, kuatkan dia.” Dua jam sudah proses persalinan. Lastri sudah hampir pingsan ketika anak itu lahir, segera perawat membawanya untuk dibersihkan.
Kemudian cahaya mata itu meredup, setelah melalui perjuangan yang teramat panjang, dia merasa tak ada lagi daya untuk dia bangkit. Semua cahaya memdadak memudar dari matanya suara-suara berubah jadi lirih, bayangan-bayangan menjadi tanpa warna, abu-abu. Akankah semua berakhir?
Lirih dia mendengar suara tangisan disekitarnya, suara-suara yang mengisyaratkan kekhawatiran, wajah-wajah muram yang tergambar samar, lalu lalang orang yang tampak tergesa-gesa. Tapi dimana? Dimana suara tangis yang teramat dia rindukan itu? Dimana suara tangis yang deminya wanita ini siap menukar dengan apapun, termasuk nyawanya? Mengapa tak ada suara tangis bayi? Bayi selama ini dia perjuangakan setengah mati?
Lalu semuanya menjadi gelap sempurna.
###
Pelan Lastri membuka matanya. Air mata menetes di pipinya yang sudah keriput. Berulang kali dia menceritakan perjuangan hidup dan matinya ini pada cucu-cucunya yang tak pernah bosan mendengar kisah ini. Kisah perjuangan hidup dan matinya untuk Tino, anak laki-laki kebanggannya dan Anton.

Kediri, 2012